Universitas Airlangga Official Website

Aspergilosis Kutaneus yang Disebabkan oleh Aspergillus Flavus.

Sumber: https://dermnetnz.org/

Aspergillosis kutaneus adalah penyakit yang jarang dan dapat terjadi sebagai infeksi primer atau sekunder. Pada aspergillosis kutaneus primer, lesi terjadi karena inokulasi langsung spora Aspergillus di pada daerah kulit yang cedera setelah pemasangan kateter intravena, trauma, pembalut dan plester oklusif, luka bakar atau pembedahan. Pada aspergillosis kulit sekunder, lesi terjadi karena penyebaran hematogen dari fokus utama seperti paru-paru atau penyebaran yang berdekatan dengan kulit dari struktur yang terinfeksi yang mendasari. Meskipun ada lebih dari 300 spesies aspergillus, lebih dari 90% infeksi manusia disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, biasanya menyebabkan infeksi sistemik yang melibatkan paru-paru dan darah. Infeksi kulit primer biasanya disebabkan oleh Aspergillus flavus, terreus, niger dan utus. Manifestasi kulit tidak spesifik dan dapat digambarkan sebagai bercak eritematoviolaceous dengan ulkus nekrotik sentral, abses subkutan dan papula serta bercak vegetatif.

Gambaran Kasus

Pasien laki-laki dengan keluhan bercak kemerahan yang gatal pada lengan kanan sejak 2 minggu. Awalnya bercak hanya terasa sedikit kemudian melebar dan bertambah banyak. Pasien pasca operasi dengan cedera brakialis dan menggunakan gips selama satu bulan. Pada pemeriksaan, didapatkan makula eritematosa yang berbatas tegas dengan papula. Pemeriksaan kalium hidroksida dengan tinta parker, menunjukkan konidiofor, hifa bercabang dikotomis dengan septa yang sesuai gambaran Aspergillosis Sp. Pada pemeriksaan kultur yang tumbuh pada hari ke-12 di media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) tumbuh koloni granular, datar dengan lekukan radial, mula-mula berwarna kuning dan dengan cepat menjadi kuning cerah kemudian menjadi kuning kehijauan tua seiring bertambahnya hari. kultur diidentifikasi menggunakan mikroskop didapatkan gambaran konidia, phialde, konidiofor dan vesikel yang sesuai dengan Aspergillus flavus. Pasien mendapatkan terapi anti jamur itrakonazol yang diberikan dengan dosis 2 x 200 mg selama 6 minggu dan memperoleh hasil yang memuaskan dengan tidak didapatkan keluhan gatal dan keluhan bercak merah yang perlahan menghilang.

Diskusi

Aspergillosis kutaneus terjadi relatif lebih jarang, namun pada laporan sebelumnya dikatakan bahwa aspergillosis kutaneus dapat terjadi baik primer atau sekunder. Lesi kulit primer dihasilkan dari inokulasi langsung spesies aspergillus pada pasien dengan menggunakan kateter, pasien cedera dengan menggunakan bebat perban atau gips, luka bakar, dan beberapa kasus telah dilaporkan dari Unit Perawatan Intensif (ICU) neonatal akibat dari aerosolisasi jamur selama gedung di renovasi. Lesi kulit pada pasien aspergillosis kutaneus primer terjadi sebagai akibat dari inokulasi langsung spora Aspergillus di tempat cedera paling sering pada ekstremitas dengan beberapa bentuk berbeda. Gambaran lesi dapat  sebagai makula, papula eritematosa, kemudian menjadi pustula, dan daoat menjadi ulserasi sentral dengan batas tinggi yang ditutupi oleh eschar hitam, meskipun ini merupakan karakteristik lesi kulit Aspergillus, penampakannya tidak patognomonik. Aspergillosis kutaneus primer juga dapat timbul pada luka yang umumnya muncul dengan demam, perubahan karakter permukaan luka, pembengkakan, indurasi, dan lembek bila dilakukan penekanan. Spesies Aspergillus adalah jamur saprofit, yang ditemukan dalam bahan organik yang membusuk. Infeksi terjadi melalui penghirupan spora atau dengan masuknya organisme secara langsung ke dalam jaringan tubuh melalui luka.

Diagnosis aspergillosis kutaneus primer dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium kalium hidroksida dengan tinta parker  langsung dari lesi kulit dan spesimen biopsi. Pemeriksaan kalium hidroksida menunjukkan konidiofor, hifa bercabang dikotomis dan septa. Hifa Aspergillus memiliki ukuran yang relatif khas (3-6 lm) dan percabangan yang terpisah dan dikotomus progresif. Infeksi aspergillus membutuhkan biopsi lesi kulit yang diambil untuk kultur dan histopatologi. Kebanyakan hasil kultur spesies dimulai sebagai koloni putih, yang dengan cepat berubah menjadi warna kuning, hijau, oranye, hitam atau coklat. Secara mikroskopis, koloni menunjukkan kepala konidia yang radiate, kemudian membelah membentuk tiang yang bebas, biseriate tetapi memiliki beberapa kepala dengan phialides langsung pada vesikel (unisareate), garis konidiofor merupakan hialin yang kasar sering lebih terlihat di dekat vesikel. Secara histopatologi yang didapat dari potongan jaringan, ditemukan hifa berseptate nonpigmented yang bercabang. Pewarnaan hematoksilin eosin pada spesimen biopsi kulit menunjukkan infiltrasi granulomatosa difus dermal dan nodular dengan sejumlah besar limfosit, sel raksasa berinti banyak, eosinofil, dan neutrofil.

Pendekatan pengobatan untuk aspergillosis kutaneus umumnya bergantung pada status penyakit yang mendasari pasien. Terapi antijamur sistemik adalah terapi andalan, dan hasilnya secara umum baik. Eksisi bedah terkadang diperlukan jika infeksi lokal tidak dapat dikontrol. Pada infeksi lokasi kateter, pengangkatan kateter selain terapi antijamur sistemik diperlukan. Aspergillosis pada luka bakar dan infeksi jaringan lunak pasca trauma paling baik ditangani dengan bedah debridemen selain terapi sistemik. Itraconazole telah digunakan untuk pengobatan aspergillosis kutaneus. Cara kerjanya adalah melalui penghambatan terhadap sitokrom P-450 dalam pembentukan ergosterol pada membran sel jamur. Itrakonazol diserap dengan baik secara oral, dan karena sifatnya yang sangat lipofilik, terakumulasi dalam jaringan pada tingkat yang lebih tinggi daripada di dalam plasma. Dosis yang dianjurkan untuk itrakonazol oral pada orang dewasa adalah 400 mg / hari (kapsul).

Penulis : Evy Ervianti

Informasi detail dari laporan kasus ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/11046