UNAIR NEWS – Di era makin masifnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini, perkembangan konten hoax juga semakin masif. Dampak perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang menjadi menyebar informasi, kapanpun dan dimanapun. Namun tak jarang, untuk kepentingan tertentu, sebuah informasi kelitu atau yang biasa disebut hoax marak bermunculan. Lantas, bagaimana agar masyarakat terhindar dari konten-konten hoax, serta cara untuk mengenalinya?
Untuk menjawab itu, Universitas Airlangga menggelar bincang-bincang bertajuk “Hoax VS Jurnalisme Presisi”, di Airlangga Convention Center, Kampus C UNAIR. Talkshow itu menghadirkan dua pembicara yang ahli di bidangnya. Ialah Budiman Tanuredjo selaku Pemimpin Redaksi Kompas, dan Suko Widodo Ketua Pusat Informasi dan Humas UNAIR.
Ditengarahi, menjadi viralnya konten-konten hoax karena mayoritas masyarakat cenderung ingin menjadi yang pertama. Seperti dikatakan Budiman, kecenderungan ini yang disinyalir menjadi pemicu menyebarnya konten hoax karena tidak dibarengi dengan ferivikasi terlebih dahulu.
“Masyarakat cenderung ingin jadi yang pertama nge-share, pertama retwit, pertama nyebarin. Karena ingin dianggap paling ngerti tanpa melihat fakta apakah benar atau tidak,” ucap Budiman.
Menyikapi hoax yang banyak beredar di masyarakat, salah satu prinsip yang dipegang Harian Kompas adalah tidak mengangkat isu yang sedang berkembang di media sosial. Sebab, menurut Budiamn, isu-isu yang berkembang dari media sosial bisa saja sengaja diciptakan tanpa dibangeri dengan fakta sesungguhnya.
Sementara untuk menghindari konten berita yang mengandung hoax, Kompas memakai metode jurnalisme presisi. Untuk memberitakan Pilkada DKI, misalnya, ada hampir 1000 orang yang terlibat. 470 tenaga di antaranya bertugas di enam kota/kabupaten administratif untuk melakukan penelitian.
“Kerja wartawan bukan hanya wawancara dan komunikasi dengan nara sumber. Tapi juga menjadi peneliti di lapangan, tukang survey, dan itu dibiayai litbang (penelitian dan pengembangan) Kompas,” ungkap alumnus Jurusan Teknologi Reaktor Nuklir itu.
Lantas, mengapa Harian Kompas mau repot-repot padahal butuh usaha dan modal besar untuk itu semua? Jawab Budiaman, “Tujuannya adalah untuk memberikan informasi terferivikasi yang mendekati kebenaran untuk para khalayak,” ungkapnya.
Pertama, lanjut Budiman, Harian Kompas ingin melayani pembaca dengan informasi yang benar. Serta, melakukan early warning system (sistem peringatan dini, Red).
Hasilnya tak main-main. Dikatakan Budiman, 1,5 bulan sebelum tsunami di Aceh terjadi, Harian Kompas pernah memuat isu tentang prediksi akan terjadinya tsunami. Faktanya, 1,5 bulan kemudian, terjadi tsunami di Aceh yang melibas nyawa ribuan warga.

Bagaimana mendeteksi kebenaran sebuah gambar?
Seringkali banyak tersebar sebuah meme atau berita disertai gambar yang mengejutkan. Keterangannya pun, banyak memicu munculnya perselisihan. Menurut Budiman, hal seperti itu yang patut dicurigai. Dengan aplikasi google image, orang bisa menelusuri apakah sebuah foto merupakan rekayasa atau sebuah fakta.
Kalaupun fakta, harus dicurigai lagi dimana foto itu diambil, kapan, dan dalam konteks apa. Sebab, untuk kepentingan tertentu, tak jarang sebuah foto sengaja diunggah padahal tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
“Jangan terlalu percaya pada informasi di media sosial (medsos). Karena di medsos, yang bergerak bukan otak, tapi jari,” ungkap Budiman.
Sementara itu, dalam talksow itu Suko Widodo membeberkan beberapa fakta. Salah satunya, telepon selular (ponsel) yang beredar di Indonesia 120 persen lebih banyak di banding jumlah penduduk yang ada. Artinya, satu orang berkemungkinan memiliki dua bahkan lebih ponsel pintar untuk dirinya sendiri.
Fakta ini membuktikan bahwa keberadaan ponsel sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat saat ini, beserta beragam aplikasi yang ada di dalam ponsel pintar itu, salah satunya medsos. Di era yang serba masif ini, lanjut Suko, media mainstream termasuk Harian Kompas tetap digunakan sebagai rujukan dalam menganalisa sebuah berita.
“Media mainstream tetap jadi rujukan karna punya tanggungjawab,” ujarnya.
Mahasiswa sebagai akademisi yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata masyarakat awam, mesti memiliki bahan bacaan yang berkualitas. Bukan semua bacaan asal dilahab, namun juga memilah bacaan-bacaan yang berkualitas. “Jurnalisme presisi adalah jawaban,” tandasnya.
Kepada seluruh peserta, ia lantas berpesan agar tidak mudah menyampaikan apa-apa yang belum tentu dipahami.
“Ketahuilah apa yang anda sampaikan. Jangan sampai share tapi nggak tau. Dan tidak semua yang anda tau bisa anda share,” pungkasnya.
Penulis: Binti Q. Masruroh