Universitas Airlangga Official Website

Bahas Ngeri-Ngeri Sedap, Pakar UNAIR: Film Medium yang Tepat untuk Mempelajari Budaya Orang Lain

Sumber: Instagram @ngeringerisedapmovie

UNAIR NEWS – Kehadiran film Ngeri-Ngeri Sedap (2022) sebagai film dengan latar belakang etnografi berhasil membawa angin segar dalam industri perfilman Tanah Air. Pasalnya, film garapan Bene Dion itu sukses meraup lebih dari 2,6 juta penonton per 4 Juli 2022 dan meraih gelar Film Dengan Cerita Asli Terlaris.

Menanggapi hal itu, pakar Kajian Sinema Universitas Airlangga (UNAIR) IGAK Satrya Wibawa SSos MCA PhD mengatakan bahwa ethnographic background dalam sebuah film, utamanya film Indonesia, menjadi salah satu daya tarik saat ini.

Peluang Keberagaman Budaya

“Dulu pada masa Orde Baru, keberagaman Indonesia itu dimatikan menjadi sebuah politik kebudayaan tunggal menjadi ‘budaya Indonesia’. Seringkali ternyata dalam prasejarah politik itu berasal dari satu etnik yaitu etnik Jawa. Setelah Orde Baru, diversity kita itu terbuka lebar, orang bisa leluasa mengetahui dan menikmati budaya-budaya lain selain ‘budaya Indonesia’,” ujarnya.

Menurut Igak, kondisi tersebut membuka peluang yang lebih luas untuk keberagaman sehingga orang dapat leluasa menonton film tentang budaya Indonesia lainnya. Keingintahuan itu menjadi pendorong untuk menonton film.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa film menjadi semacam jembatan kebudayaan yang berbeda. Seperti halnya Ngeri-Ngeri Sedap, meskipun isunya universal yaitu relasi orang tua dan anak, tetapi dibalur dengan konteks adat Batak yang kental.

“Ini menarik bagi endorser, buat kita yang non-Batak untuk menonton film ini dan menjadi contoh yang bagus untuk mempelajari etnis atau budaya lain. Dan Ngeri-Ngeri Sedap menampakkan itu, bagaimana Si Sahat dekat dengan bapak angkatnya yang dari Jawa, kemudian anak pertamanya Si Domu yang ingin menikah dengan Sunda,” jelas Igak.

“Jadi, bauran-bauran kebudayaan seperti itu membuat kita lebih terbuka, tanpa harus memandang sebuah etnis dari stereotip yang kita tahu. Kita bisa tahu lebih banyak lagi, kita bisa belajar lebih banyak, dan film menurut saya medium yang tepat untuk kita mempelajari budaya orang lain sebetulnya,” tambahnya.

Belajar dari Film

Tema universal dalam film Ngeri-Ngeri Sedap menggambarkan bagaimana sebuah keluarga tumbuh pada masa yang berbeda. Pak Domu dan Mak Domu berada pada masa ketika prinsip sistem kekeluargaan harus berkumpul di rumah, sementara mereka membesarkan anak-anaknya dengan pendidikan yang lebih tinggi. 

Dari film tersebut, Igak mengungkapkan bahwa menjadi orang tua adalah proses belajar yang tidak akan pernah berhenti. Orang tua tidak bisa menyamakan didikan dulu dengan sekarang karena pada dasarnya manusia tumbuh dengan adaptif dan dinamis. Selain itu, sisi menarik lainnya dari film ini adalah bagaimana para tokoh tidak bisa meninggalkan akar budaya yang melekat dalam lubuk hati mereka. 

“Ketika anak-anak itu disuruh pulang karena mereka tahu ibu bapaknya memilih cerai, mereka spontan berkata itu tidak sesuai adat, kemudian statement itu dibalik Pak Domu bahwa mereka yang tidak mau pulang juga tidak sesuai adat,” ungkap Igak.

“Jadi bukan adatnya sebetulnya, tapi bagaimana sudut pandang orang itu merupakan adat dalam kehidupan sekarang. Kita bermaksud adat itu lebih fleksibel dan itu yang ditawarkan oleh film ini bahwa adat itu tidak berubah, yang berubah adalah cara pandang manusia sehingga korelasi itu yang ditampakkan oleh kisah Pak Domu dan Bu Domu bahwa modernitas dan adat sesungguhnya tidak harus dibenturkan,” tegasnya. 

Pakar Kajian Sinema Universitas Airlangga (UNAIR), Igak Satrya Wibawa S Sos MCA PH D (Sumber: FISIP UNAIR)

Perkenalkan Budaya Indonesia kepada Generasi Muda

Lebih lanjut, alumnus Curtin University itu menuturkan bahwa potensi kekuatan etnografi dalam bentuk narasi dapat menjadi cara terbaik untuk memperkenalkan keragaman budaya Indonesia kepada generasi muda sekarang.

“Tidak lagi hanya berbekal pengetahuan formal di sekolah, buku-buku, sejarah atau sosial yang kadang menjemukan atau proses dialektika internal di keluarga yang bisa jadi tidak sesuai dengan masanya sehingga film menjadi salah satu medium yang sangat tepat untuk memperkenalkan keragaman budaya Indonesia sesungguhnya,” tuturnya.

Di samping itu, film juga dapat memperkenalkan Indonesia kepada orang lain tidak hanya kepada kepada masyarakat Indonesia, tapi juga kepada masyarakat dunia. Menurut Igak, selama ini banyak orang memandang budaya Indonesia sebagai eksotisme, tontonan, atau produk pariwisata. 

“Padahal, jika diangkat dalam konteks etnografi banyak sekali hal-hal yang selama ini dikenal oleh orang-orang itu salah kaprah karena tidak mengangkat sudut pandang dan pemahaman yang tepat tentang budaya tersebut sehingga ini saatnya momentum-momentum ini harus dijaga oleh para filmmaker kita dan tentu ini cara belajar budaya kita dengan menyenangkan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Rafli Noer Khairam

Editor: Binti Q. Masruroh