Universitas Airlangga Official Website

BEM UNAIR Gelar Seminar EMPOWER, Bahas Fenomena Waithood pada Perempuan

Intan Fitranisa memaparkan materi fenomena waithood pada wanita (Foto: Rifki Sunarsis)

UNAIR NEWS – Kementrian Kesetaraan Gender (KKG) BEM Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan seminar EMPOWER (Empowering Women in Professions, Encouraging Resilience). Kegiatan tersebut berlangsung pada Sabtu, (2/11/24) di gedung C Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) UNAIR. Seminar tersebut membahas fenomena waithood pada kalangan perempuan dan bagaimana stigma yang terbentuk di masyarakat.

Menggandeng Intan Fitranisa S I Kom M Med Kom, anggota Satgas PPKS UNAIR sebagai narasumber, seminar ini mengangkat fenomena waithood pada perempuan karir. Waithood merupakan suatu fenomena di mana perempuan memilih untuk menunda atau bahkan tidak menikah karena adanya suatu alasan tertentu.

Dalam kurun waktu antara 2005 dan 2023 jumlah perempuan bekerja meningkat dari 32,5 juta menjadi 54,6 juta. Hal ini bersamaan dengan menurunnya angka pernikahan pada 2020. Di mana hanya 20,26 persen saja perempuan yang menikah di usia 20-24 tahun, daripada tahun 1990 yang berjumlah 44,38 persen.

“Penurunan jumlah perempuan yang menikah dan banyak yang memilih untuk berkarir ini membuat keresahan di masyarakat. Masyarakat kita cenderung memandang pernikahan sebagai suatu pencapaian hidup. Hal ini membuat stigma buruk kepada perempuan yang memilih untuk menunda pernikahan dengan tujuan mengejar karir,” ungkapnya.

Dengan berkembangnya zaman, banyak perempuan yang memilih untuk mengejar karir serta melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut seringkali menimbulkan stereotip di mana perempuan seharusnya segera menikah dan lebih baik berada di rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan tunduk pada suami.

“Pada masyarakat kita cenderung banyak yang memandang perempuan kurang cocok melanjutkan pendidikan tinggi, memperoleh jenjang karir yang baik dan sukses sebagai individu. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan maupun pekerjaan. Stigma seperti inilah yang harus kita ubah,” tutur Intan.

Beberapa alasan perempuan lebih memilih berkarir daripada menikah di antaranya yaitu adanya himpitan ekonomi. Terkadang perempuan berposisi sebagai tulang punggung keluarga. Selain itu, banyak perempuan yang menghindari beban ganda di mana adanya ketakutan setelah menikah ia harus bekerja sekaligus mengurus rumah. 

“Saat ini, banyak perempuan hebat yang sudah memiliki pendidikan tinggi dan karir yang cemerlang. Tentu banyak perempuan mencari pria yang sepadan dengannya. Namun kenyataannya, banyak yang malah merendahkan perempuan dengan menyebutnya terlalu pemilih dan akan menjadi perawan tua,” ujarnya. 

Glass Ceiling Effect

Intan memaparkan bahwa dalam dunia profesional perempuan menerima diskriminasi salah satunya adanya glass ceiling effect. Fenomena ini membuat perempuan tidak dapat memiliki kesempatan dalam memperoleh jabatan fungsional yang tinggi. Tentunya diskriminasi ini menjadikan perempuan sebagai seorang yang dianggap lebih rendah daripada pria.

“Dalam mengatasi permasalahan yang kompleks ini di antaranya yaitu membangun lingkungan kerja yang aman bagi perempuan. Menghapus diskriminasi di tempat kerja, mendorong inisiatif usaha perempuan, edukasi keuangan dan dukungan mental bagi perempuan. Perempuan bisa memilih mengejar karir, pendidikan dan menikah sesuai yang ia mau,” tutupnya.

Penulis: Rifki Sunarsis Ari Adi

Editor: Yulia Rohmawati