UNAIR NEWS – Sorak tepuk tangan penonton langsung terdengar keras saat sang sutradara keluar dari belakang panggung pertunjukkan. Di atas kursi roda dengan balutan khasnya, bertopi flat putih, Putu Wijaya melambai sembari tersenyum menyapa para penonton.
Benar, dialah Putu Wijaya, sang sastrawan serbabisa. Dia penulis drama, cerpen, esai, novel, pelukis, juga penulis skenario film dan sinetron. Bersama dengan teaternya, Teater Mandiri, Putu Wijaya menampilkan karya drama terbarunya berjudul Jprutt di Balai Budaya Surabaya. Kamis malam (23/8) menjadi sangat istimewa bagi seluruh mahasiswa baru Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga.
Sebagai buntut dari kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) 2018 FIB UNAIR, mereka berkesempatan langsung menyimak karya drama dari seorang sastrawan ternama dari Tabanan, Bali Putu Wijaya melalui Teater Mandiri. Teater besutan Putu Wijaya itu bukan sekadar teater biasa.
Teater tersebut seangkatan dengan teater-teater ternama bentukan maestro sastra Indonesia lainnya. Seangkatan dengan Bengkel Teater bentukan W.S. Rendra; Teater Koma milik Nano Riantiarno; dan Teater Kecil milik Arifin C. Noer.
Dalam karyanya kali ini, Putu Wijaya mengangkat tema kebangsaan. Hal itu juga bertepatan dengan momen peringatan Hari Kemerdekaan Ke-73 Bangsa Indonesia. Dengan berlatar belakang sosial budaya Bali, pentas teater itu menampilkan sindiran-sindiran khas Putu kepada semua pihak.
Diperankan oleh sebanyak enam pemain, beberapa lawakan telihat sangat mencair dan memiliki makna yang dalam. Tokoh-tokoh pentas malam itu adalah Pak Amat (Bambang Ismantoro), istri Pak Amat (Ulil Elnama), Profesor Koh (Jose Rizal Manua), Ami (Rukoyah), suami Ami (Ari Sumitro), dan Agung Prameswari (Ninik L. Karim).
Keresahan Putu Wijaya
”Ketika kau cari kambing hitam, putar telunjukmu ke belakang agar lurus dengan hidungmu sendiri”. Itulah secuil dialog yang menarik dalam pentas teater tersebut. Konteks itu mengajak siapa pun untuk berani menyalahkan dirinya sendiri. Berani untuk mengakui kesalahannya sendiri. Dalam konteks yang lebih luas, kebangsaan, bangsa Indonesia juga mesti mau mengakui kesalahannya sendiri agar mampu mewujudkan Indonesia bangsa yang besar.
Putu Wijaya mengaku resah dengan kondisi sosial Indonesia saat ini. Politisi berani tampil dengan beragam wajah. Mengumbar keberpihakan dengan motivasi kepentingan masing-masing. Ideologi menjadi hal yang tidak dipentingkan lagi.
Selain itu, nama rakyat hanya sebatas komoditas politik. Membawa-bawa kepentingan rakyat hanya untuk meraih simpati menjelang pesta demokrasi. Lantas, kepentingan rakyat akan dilenyapkan saat jabatan-jabatan telah mampu didapatkan.
Dalam pentas malam itu, pesan-pesan Putu Wijaya tersebut cukup tampak. Yakni, terwujud pada tokoh bernama Agung Prameswari, seorang tokoh perempuan, yang bertindak sebagai calon bupati nomor urut tiga. Dia menggunakan beragam cara untuk bisa menduduki jabatan itu. Termasuk dengan harga dirinya sendiri. Padahal, Agung Prameswari sendiri tak pernah yakin untuk siapa jabatan itu dirinya kejar.Dan, pada akhir, narasi yang tampak adalah kebesaran bangsa Indonesia sebagai negara yang beragam.
Selain itu, Putu Wijaya melalui pentas tersebut ingin menyampaikan pesan kepada anak muda era milenal. Di antaranya, menunjukkan bahwa teater merupakan sebuah media perenungan soal apa pun. Termasuk sebagai media penuangan aspirasi. Putu juga ingin menunjukkan bahwa teater memuat multi-ilmu. Baik, sastra, sosial, filsafat, politik, bahkan hukum.

Sementara itu, Dekan FIB UNAIR Diah Ariani Arimbi, S.S., MA., Ph.D.,dalam sambutanya mengungkapkan bahwa pementasan itu, selain sebagai bagian dari acara PKKMB, menjadi media pengenalan mahasiswa soal khazanah sastra di Indonesia. Dia mengakui soal populernya K-pop maupun J-pop saat ini. Karena itu, pengenalan khazanah sastra di Indonesia perlu didorong dan diperkuat kembali.
Sebab, Indonesia memiliki sejumlah nama-nama yang mendunia. Misalnya, nama besar Pramudya Ananta Toer. ”Di Fib, tak hanya K-pop dan J-pop, sastra Indonesia juga mesti eksis. Selamat menikmati teater salah seorang sastrawan ternama Indonesia Putu Wijaya,” ujarnya. (*)
Penulis: Feri Fenoria Rifa’i