Universitas Airlangga Official Website

Buka Bersama Akbar SKI FIB, Ulas Sapi sebagai Representasi Toleransi

Potret Jai dan Peserta Diskusi Sastra dan Religiusitas (sumber foto: Cahyaning Safitri)

UNAIR NEWS – Sentra Kerohanian Islam (SKI) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar acara Buka Bersama Akbar di SC FIB UNAIR pada Jumat, (14/4/2023). Dalam kegiatan Buka Bersama Akbar tersebut berlangsung sesi diskusi dengan tajuk “Sastra dan Religiusitas”.

Sebagai makhluk yang memiliki akal untuk berpikir, manusia tidak boleh hanya membayangkan bahwa sastra selalu bertolak belakang dengan agama. Sastra banyak yang berisi pesan-pesan keagamaan, contohnya pesan untuk kembali kepada Tuhan.

Sastra dan Religiusitas 

Muhammad Jibril atau Jai sebagai pemantik diskusi tersebut mengungkapkan bahwa, dalam puisi Patung Sapi Sumberan karya Dadang Ari Murtono menggambarkan sisi religiusitas dengan sapi. Puisi ini merepresentasikan agama Hindu. Walaupun sapi di dalam puisi adalah patung. Namun, dalam puisi tersebut sapi seakan-akan hidup. 

“Patung sapi yang digunakan bermain-main anak-anak. Menginginkan pada saat sapi suci dalam agama Hindu,” ujar Jai.

Sapi dalam agama Hindu merupakan tunggangan Dewa Siva. Dalam beberapa ajaran Hindu sapi dilarang dikonsumsi karena kesakralannya. Namun, dalam puisi ini digambarkan seolah-olah sapi tidak memiliki kesakralan. 

Kemudian dalam puisi Sejumlah Sapi di Kandang Ganjaran karya Dadang Ari Murtono, puisi ini menggunakan sapi untuk membicarakan toleransi. Ada kisah seekor sapi yang dulu merupakan hewan sakral di agama Hindu. Kemudian dalam agama Islam sapi kembali disucikan dalam hari Raya Haji dengan cara dikurbankan. 

“Hal ini berhubungan dengan agama Islam. Dalam Islam sapi berguna untuk kurban, yang mana kelak akan menjadi kendaraan. Sedangkan di agama hindu ada sapi yang sakral karena merupakan tunggangan dewa. Hal ini membuktikan bahwa puisi ini membicarakan toleransi antar umat beragama,” sambung Jai. 

Zawawi Imron dalam puisi Zikir seakan sedang merepresentasikan kehidupan manusia. Bahwa manusia hidup dengan garis takdir Tuhan. Dalam puisi ini seakan mengesankan nilai-nilai keesaan. Bisa menjadi pemahaman bahwa lirik alif di sini merupakan keesaan. Bahwa lirik alif adalah pegangan yang kuat di tangan, alif adalah kompas penunjuk arah di dalam kehidupan. 

Hompimpa dalam puisi ini seakan-akan manusia adalah manusia berperang meraba-raba tentang takdir hidupnya. Manusia mati, hidup, dan bernasib tidak dengan kehendaknya. Bergerak sesuai dengan keimanan tentang keesaannya.

“Tidak jauh berbeda dengan puisi Zikir, Puisi Chairil Anwar berjudul Doa juga membicarakan mengenai kekuasaan Tuhan. Kebesaran Tuhan mampu membuat manusia tidak bisa melepas ketergantungan kita sebagai hamba kepada Tuhan,” tutup Jai.

Penulis: Cahyaning Safitri

Editor: Nuri Hermawan