Baru-baru ini sekitar bulan April 2025 muncul video yang viral dimana CEO Apple Tim Cook berpendapat soal kenapa dia masih berinvestasi di China. Video itu muncul kembali selama ketegangan yang meningkat antara Amerika Serikat dan China atas perdagangan. Di tengah meningkatnya perang dagang, Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif hingga 145% pada impor China, mendorong China untuk membalas dengan tarif hingga 125% pada barang-barang Amerika (sekarang sudah disepekati kedua pihak penurunan baiya tarifi itu).
Tim Cook mengatakan tenaga kerja terampil dan infrastruktur canggih China, bukan tenaga kerja murah, adalah alasan sebenarnya di balik keputusan manufaktur Apple.
Ketika diskusi global tentang pengalihan manufaktur dari China berlanjut, video CEO Apple Tim Cook yang muncul kembali telah memberikan penerangan baru tentang mengapa raksasa teknologi itu tetap berkomitmen pada jaringan produksi di negara China itu.
CEO Apple itu telah menyatakan bahwa keputusan Apple untuk memproduksi produk di China tidak terutama didorong oleh biaya tenaga kerja yang rendah, melainkan oleh tenaga kerja China yang mendalam dan sangat terampil, terutama dalam perkakas/peralatan canggih dan rekayasa presisi. Dia telah mencatat bahwa AS tidak memiliki jenis keahlian kejuruan ini pada skala yang sama.
Video yang telah beredar di media sosial, menampilkan Cook melawan keyakinan populer bahwa perusahaan memproduksi di China karena tenaga kerja murah. Sebaliknya, dia menjelaskan bahwa keuntungan nyata terletak pada ekosistem industri China yang luas dan berkembang secara mendalam.
“Ada kebingungan tentang China. Dan izinkan saya setidaknya memberikan pendapat saya. Konsepsi populer adalah bahwa perusahaan datang ke China karena biaya tenaga kerja yang rendah. Saya tidak yakin ke bagian mana dari China mereka pergi, tetapi kenyataannya adalah China berhenti menjadi negara dengan biaya tenaga kerja rendah bertahun-tahun yang lalu,” kata Cook dalam klip tersebut.
Dia melanjutkan dengan memuji keahlian dan konsentrasi tenaga kerja terampil negara itu—faktor-faktor penting untuk manufaktur presisi yang dibutuhkan produk Apple. Dia berpendapat: “The reason is because of the skill, the quantity of skill in one location, and the type of skill it is. It is like the products we do require really advanced tooling and the precision that you have to have in tooling and working with materials that we do are state-of-the-art,” (“Alasannya karena skill, kuantitas skill dalam satu lokasi, dan jenis skill itu. Ini seperti produk yang kami lakukan membutuhkan perkakas/peralatan yang sangat canggih dan presisi yang harus Anda miliki dalam perkakas/peralatan dan bekerja dengan bahan yang kami lakukan adalah canggih”).
Dalam perbandingan yang ringan, dia mencatat perbedaan keahlian yang tersedia antara China dan AS. “Jika Anda melihat AS, Anda bisa mengadakan pertemuan dengan insinyur (yang ahli dibidang peralatan) dan saya tidak yakin kami bisa mengisi satu ruangan dengan mereka. Di China, Anda bisa mengisi beberapa lapangan sepak bola (dengan penuh para insinyur),” katanya.
Pendapat CEO Apple itu bisa dijadikan cambuk atau pelajaran bagi Indonesia bahwa keunggulan di bidang “buruh murah” sudah tidak jamannya lagi, karena pada situasi persaingan global yang ketat ini suatu negara membutuhkan tenaga-tenaga yang trampil dan profesional. Sudah saatnya pendidikan vokasi – disamping pendidikan lainnya – perlu digalakkan untuk mengisi tenaga-tenaga kerja yang profesional, disiplin dan memiliki ketrampilan yang tinggi.
Perlu dicermati pendapat CEO Apple ini bahwa sekarang ini murahnya tenaga buruh hanyalah sebuah mitos belaka; tapi talenta lah yang merupakan hal penting yang diperlukan.