Saya kagum ketika melihat anak-anak kecil di perumahan dosen University of Kent di Inggris menjual berbagai macam buku-buku bekasnya di depan pintu garasi rumahnya. Itu adalah peristiwa yang sering saya lihat di tahun 1987, ketika saya melakukan perjalanan dari kampus ke Kota Canterbury yang jauhnya sekitar 7 km untuk belanja kebutuhan atau melihat keramaian. Maklum, kota Canterbury salah satu destinasi wisata di Inggris dimana para turis mancanegara bisa melihat peninggalan kota tua sejak zaman kerajaan Romawi dan mengunjungi katedral kuno Canterbury yang besar dan megah. Di Inggris, salah satu tokoh negara yang terkenal dan penting perannya adalah Bishop (uskup) of Canterbury. Saya waktu itu menempuh short course di University of Kent sebelum memulai kuliah di University of London.
Selain itu kota Canterbury dipenuhi dengan berbagai macam toko yang menjual barang branded. Turis mancanegara yang datang ke Canterbury banyak dari negara-negara Eropa karena memang Canterbury dekat Selat Dover yang berhadap-hadapan dengan selat Calais Perancis. Dulu, orang-orang naik bus lalu kapal ferry. Sekarang ada kereta api cepat yang melewati dasar laut dari Calais ke Dover, dan sebaliknya.
Untuk menuju kota Canterbury dari kampus University of Kent, para mahasiswa bisa naik bus kota dari halte kampus, bisa juga jalan kaki. Waktu itu, saya beserta beberapa dosen FISIP UI sering memilih jalan kaki menelusuri padang rumput kampus yang asri dan melewati perumahan guru besar dan dosen. Dalam perjalanan itu saya melihat pemandangan anak-anak kecil berjualan buku, lalu melewati jalan kecil di sela-sela perumahan sampai ketemu jalan besar menuju pusat Kota Canterbury.
Anak-anak kecil berumur 6-10 tahun putra putri para guru besar dan dosen itu menjaga dagangannya di pintu garasi rumah. Buku yang dijual berupa buku-buku tua atau yang sudah tidak dipakai lagi. Harga buku-buku lama itu sangat murah dan tidak masuk akal. Misalnya, harga buku novel baru seharga Rp. 100.000, tapi di garasi itu mereka menjualnya dengan harga Rp 200. Praktis tidak ada keuntungan yang berarti. Cara berfikir saya waktu itu Kenapa tidak dibuang saja buku-buku lama itu? Daripada dijual dengan harga yang tidak masuk akal murahnya, atau Disumbangkan ke tempat lain.
Nampaknya jual buku murah di pintu garasi itu sudah tradisi turun temurun di Inggris dimana anak-anak diajari bisnis jual buku tapi sambil beramal karena tidak ada keuntungan dari bisnis itu. Hanya semata-mata agar buku-buku itu bisa dibaca orang lain atau masyarakat. Tentu ada juga yang langsung menyumbangkan buku-buku lama itu ke tempat amal. Tapi, cara ini tidak ada unsur pendidikan bisnis atau wirausaha. Saya juga melihat unsur berwirausaha dengan melihat kesabaran dan ketangguhan anak-anak kecil itu menunggu pembeli yang lewat dalam waktu lama.
Bagi warga negara-negara maju, buku merupakan the second university. Sehingga, tidak heran kalau kita melihat pemandangan dimana-mana orang sedang membaca. Karena itu, tingkat baca negara-negara maju sangat tinggi. Buku begitu pentingnya bagi mereka sehingga jarang kita lihat buku lama dibuang di sampah atau dijadikan pembungkus makanan.
Itu kisah tradisi menarik yang saya lihat di University of Kent, Canterbury, dan ini juga bisa dijumpai di Inggris. Saya mengecek apakah di negara maju lainnya ada tradisi semacam itu. Lalu, saya tanyakan pada keponakan saya yang sedang menempuh program PhD di Hiroshima University, Jepang tahun 2021. Ternyata, dia juga menyaksikan hal sama seperti yang saya lihat di Inggris. Demikian pula ning Ari Sufiati alumni FISIP UNAIR yang sekarang di Silicon Valley Amerika Serikat, kadang menjumpai hal seperti itu.
Pada zaman IT yang maju pesat dewasa ini, bisa kita cari cara-cara menjual buku lama lewat online seperti yang ditawarkan Amazon atau eBay. Dan di kota-kota besar dunia kita jumpai toko yang menjual buku lama.
Tapi nampaknya, usaha menjual buku-buku lama di pintu garasi rumah di beberapa negara maju masih dipraktekkan. Kegiatan itu adalah pendidikan penting bagi anak-anak bagaimana melakukan usaha, bagaimana memupuk rasa tangguh dan ulet dalam berbisnis, bagaimana memiliki jiwa yang menghargai usaha, dan merasakan bagaimana sulitnya mencari uang. Itu sekaligus mendidik nilai-nilai amal kepada sesama dengan cara menyebarkan buku-buku yang berguna bagi masyarakat yang membutuhkan.