UNAIR NEWS – Musim penghujan menjadi waktu paling krusial dalam penyebaran infeksi leptospirosis.. Penyakit zoonosis bakteri spiroket dari genus leptospira menjadi ancaman serius karena menimbulkan risiko kematian. Infeksi yang pertama kali teridentifikasi tahun 1870 itu telah menginfeksi 1,05 juta kasus dan menyebabkan 60 ribu kematian setiap tahun. Tercatat Indonesia menjadi negara dengan kasus leptospirosis tertinggi ketiga secara global.
Dari catatan tersebut, peran calon dokter hewan sangat penting dalam mengidentifikasi mengontrol hewan inang yaitu tikus. Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, dan Ilmu Alam (FIKKIA) Universitas Airlangga (UNAIR) Banyuwangi melalui Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) mendukung hal itu melalui kuliah tamu states mikrobiologi. Kegiatan berlangsung pada Rabu (14/5/2025) hingga Kamis (15/5/2025) di Laboratorium Terpadu 1 Kampus Giri. Mahasiswa PPDH dan OJT Central Mindanao University melakukan pengecekan PCR ginjal tikus liar dan sapi secara langsung untuk mengidentifikasi leptospirosis.

Penyebaran Leptospirosis di Indonesia
Peneliti Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Farida Dwi Handayani SSi MS mengatakan penyebaran leptospirosis terjadi pada daerah beriklim tropis maupun sedang. Sehingga kawasan permukiman di Indonesia berpotensi tinggi menjadi tempat penularan. Kontak hewan yang merupakan inang alami dengan lingkungan menjadi penyebab utama. Beberapa hewan tersebut yaitu tikus, ternak, anjing, dan babi.
“Kasus leptospirosis sering terjadi pada musim hujan. Terdapat beberapa daerah yang endemis leptospirosis. Terutama Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” katanya.
Diagnosis Laboratoris
Proses diagnosis laboratoris dapat dilakukan dengan isolasi dan inokulasi bakteri, pengecekan mikroskop, tes imun, Ai, hingga uji molekuler. Kemampuan, keterampilan, dan pemahaman peneliti sangat penting dalam kualitas hasil pengecekan. Terutama tentang karakteristik bakteri, pemilihan dan penanganan sampel, hingga analisis hasil yang tepat. PCR menjadi standar emas dalam mendiagnosa leptospirosis. Tahapan pertama adalah dengan melakukan ekstraksi DNA. Sampel dapat berasal dari urin, darah, ginjal, air, maupun tanah. Ekstraksi berlangsung dari isolasi sel hingga mengalami presipitasi. Tahapan kedua adalah dengan melakukan PCR baik konvensional maupun real time. Pastikan pula penggunaan primer bakteri dan leptospira patogenik dalam PCR tersebut.
“Kunci kevalidan dari PCR adalah antigen detection (DNA) dari ketepatan proses ekstraksi dan pemilihan primer yang tepat,” jelasnya.
Penulis: Azhar Burhanuddin
Editor: Ragil Kukuh Imanto