UNAIR NEWS – Airlangga Center for Legal Drafting & Professional Development (ALC) FH UNAIR menggelar webinar pada Kamis siang (28/7/2022). Topik yang dieksplor secara komprehensif dengan 4 pembicara adalah “Webinar Legal Aspect of Non-Dollars Currency and Non-Libor Interest in Oil and Gas Business.” Dalam mukadimah kegiatan ini, Dekan FH UNAIR Iman Prihandono PhD memberikan keynote speech atas tajuk webinar tersebut.
Iman mengatakan bahwa topik webinar ini mustahil dipisahkan dengan Konflik Rusia-Ukraina yang berdampak signifikan pada industri minyak bumi dan gas (migas) global. Hal ini dikarenakan bahwa Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia, yakni sebesar 12,1% dari total produksi minyak dunia. Signifikansi Rusia ini dikarenakan bahwa 70% minyak tersebut diekspor, dan berbagai sanksi akibat agresi Rusia tentu akan berdampak pada supply chain minyak global. Wujud dari dampak tersebut adalah peningkatan harga minyak yang signifikan.
“Namun, hal ini takkan terlalu berdampak di Indonesia karena negara eksportir minyak terbesar di Indonesia adalah Arab Saudi, Australia, Nigeria, dan Angola. Meskipun demikian, dampak yang tentu dirasakan oleh Indonesia adalah perubahan model bisnis migas yang menjadi topik webinar ini: non-dollars currency dan non-libor interest,” ujar Pakar Bisnis dan HAM itu.
Dalam industri migas dan berbagai komoditas krusial lainnya, dolar Amerika Serikat menjadi mata uang yang digunakan dalam transaksinya. Iman menekankan bahwa lanskap ini tentu memberikan pengaruh ekonomi dan politik kuat terhadap Amerika Serikat, dan pemberian sanksi pada Rusia merupakan contohnya. Namun, Rusia berusaha menggoyahkan pengaruh tersebut dengan memaksa penggunaan mata uang non-Dollar dalam industri migas.
“Rusia menjual migasnya dengan menggunakan mata uangnya, yakni Ruble yang nilainya sempat anjlok karena akibat sanksi dari negara NATO. Kini, Ruble merupakan mata uang yang terkuat di dunia,” tegas Iman.
Perubahan dinamika lain adalah transisi dari penggunaan London Interbank Offered Rate (Libor) di industri migas. Iman menjelaskan bahwa Libor adalah suku bunga referensi yang dijadikan acuan dalam berbagai aktivitas bisnis migas internasional yang melibatkan bunga, seperti kontrak kredit. Dalam perkembangannya, penggunaan Libor sebagai referensi menjadi suatu sistem yang tak sempurna karena acuannya kerap dimanipulasi oleh bank seperti Deustche, JP Morgan, dan Royal Bank of Scotland. Iman menambahkan bahwa premis ini yang menjadi basis Rusia untuk berpindah menggunakan referensi suku bunga lain yang lebih kredibel sebagai acuan.
“Perlu ada suatu sistem dimana tak ada pihak yang dapat mengurangi bunga agar dapat menunjukkan kekuatan uang di kala ketidakpastian. Indonesia juga serupa ingin melakukan Libor phase-out. Melalui National Working Group on Benchmark Reform (NWGBR), mulai dikembangkan penggunaan suku bunga alternatif yakni Jakarta Interbank Offered Rate (Jibor),” papar alumni Macquaire University itu.
Penutup keynote speech Iman menuturkan bahwa dinamika tersebut akan menimbulkan banyak konsekuensi hukum. Hukum bisnis internasional memang harus fleksibel dalam menghadapi perubahan kebiasaan bisnis internasional.
“Mungkin ini dapat bisa menjadi hambatan dan bahkan sumber sengketa, namun begitulah hukum. Tumbuh dan berkembang,” pungkasnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan