Universitas Airlangga Official Website

Cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol Aman Selama Dalam Kadar Tertentu, Benarkah?

Dr Apt Noorma Rosita MSi pada sesi diskusi (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Menanggapi isu hangat yang masih diselidiki secara mendalam oleh Kemenkes, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga mengadakan Webinar Pharmacopedia #4 bertajuk Serba-Serbi Isu Obat Sirup yang Diduga Mengandung Cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol. Webinar yang berlangsung pada Sabtu (12/11/2022) tersebut mendatangkan Dr Apt Noorma Rosita Msi sebagai narasumber.

Berbeda dari pandangan masyarakat awam yang gempar mengenai dicabutnya izin edar sirup Paracetamol, Noorma meluruskan bahwa Paracetamol adalah senyawa aktif yang tidak berbahaya bagi tubuh. Alasan yang mendasari tindakan Kemenkes adalah mengenai adanya etilen glikol dan dietilen glikol yang terkandung dalam obat sirup.

“Tidak semua obat dapat mudah larut dengan air sehingga kelarutannya dalam air dapat dimodifikasi dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menambah senyawa kosolven. Contoh senyawa kosolven yang biasa digunakan adalah propilen glikol,” terang Noorma.

Noorma juga menekankan bahwa propilen glikol tidak berbahaya selama konsumen memenuhi ADI (acceptable daily intake) atau dosis perhari yang dapat diterima tubuh. Namun, berdasarkan temuan BPOM tentang cemaran etilen glikol yang mencapai 99 persen, Noorma menganggap bahwa hal tersebut tidaklah lazim.

Bukan hal langka, ia menyebut bahwa cemaran etilen glikol memang terkadang ada dalam obat, tapi tentu saja memiliki batas maksimal sebesar 0,1 persen. “Sehingga jika mencapai 99 persen, itu berarti etilen glikol sudah bukan dianggap cemaran, melainkan kosolven dalam obat dan dengan jumlah sebegitu besar memang tidak diperbolehkan ada,” ujar Noorma.

Ketika ditanya perihal waktu yang mendadak dan tidak terarah, Noorma setuju bahwa ia juga tidak menyangka bahwa kasus ini baru muncul sekarang karena sebenarnya penggunaan obat sirup dengan etilen glikol serta dietilen glikol telah ada sejak dulu. Ia berspekulasi bahwa alasannya adalah adanya kesalahan dari produsen bahan baku atau proses pengujian.

Menurutnya, pihak industri dan BPOM harus lebih mengoptimalkan proses pengujian melalui pengadaan alat yang memadai. “Kalaukita menganalisis suatu bahan, alat yang digunakan harus sensitif dan selektif. Jika alatnya tidak memenuhi salah satu syarat tersebut, ya tidak terdeteksi (cemarannya, red),” ungkap dosen Fakultas Farmasi UNAIR itu. (*)

Penulis: Leivina Ariani Sugiharto Putri

Editor : Binti Q. Masruroh