Universitas Airlangga Official Website

CLeP FH UNAIR Bahas Hak Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Naen Soeryono menjelaskan materi tentang hak penghayat kepercayaan (Foto: Istimewa)
Naen Soeryono menjelaskan materi tentang hak penghayat kepercayaan (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar seminar. Seminar tersebut bertema “Pemajuan Hak Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia Pasca Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016”. Seminar yang berlangsung pada Selasa (12/11/2024) di Aula Pancasila Gedung A FH UNAIR itu melibatkan mahasiswa sekaligus masyarakat penganut penghayat kepercayaan di sekitar area Surabaya.

Salah satu pembicara yang hadir yakni Naen Soeryono SH MH selaku ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) yang sekaligus merupakan alumni FH UNAIR. Pada awal sambutannya, ia memperkenalkan bahwa dasar penganut penghayat kepercayaan sebenarnya telah diatur pada Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Naen mengatakan bahwa masyarakat penganut penghayat kepercayaan memiliki hak asasi yang sama. Dari segi hukum, mereka tetap mendapat perlindungan untuk memilih kepercayaan. Ia menambahkan bahwa sebelumnya, penganut penghayat kepercayaan berada di bawah kewenangan Kemendikbud.

Pemateri foto bersama para peserta seminar nasional (Foto: Istimewa)
Pemateri foto bersama para peserta seminar nasional (Foto: Istimewa)

“Kelompok penghayat pada dasarnya tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya sebagai penganut penghayat. Tidak heran jika terkadang kita tidak tahu apakah seseorang penganut penghayat atau tidak. Perkembangan sejarah penghayat kepercayaan bermula di era reformasi. Banyak sekali para pejuang yang menjunjung tinggi hak asasi bagi kelompok penghayat kepercayaan,” tuturnya.

Naen melanjutkan, bahwa menurut Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, semua penganut penghayat kepercayaan perorangan harus terdaftar di MLKI. Bukan tanpa sebab, hal ini sebagai pemenuhan hak dasar mengenai status hukum seseorang sebagai penganut penghayat kepercayaan.

Naen menyebutkan bahwa masyarakat awam lebih mengetahui filosofi penghayat kepercayaan sama dengan budaya kejawen. Biasanya seseorang membawa keris, sesajen, dan lain sebagainya, merupakan bagian dari penganut penghayat kepercayaan. 

“Jauh sebelum terorganisirnya penganut penghayat kepercayaan, justru mereka semua bergerak secara perorangan. Salah satu contoh organisasi yang pernah ada di Indonesia yakni kelompok Budi Utomo. Tentu kami berharap, untuk semua penganut penghayat kepercayaan dapat tercatatkan melalui Dispendukcapil, sehingga legal dan diakui secara hukum,” pungkasnya.

Penulis: M. Akmal Syawal

Editor: Yulia Rohmawati