fbpx

Universitas Airlangga Official Website

Dampak Perang Dagang Antara Amerika Serikat dan China terhadap Ekspor Indonesia

Ilustrasi by Money Kompas

Sejak tahun 2018, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin meningkat dan berujung pada pengenaan tarif dari kedua negara. Perang dagang AS-China telah berdampak negatif pada arus perdagangan untuk kedua negara, meskipun dampak lebih besar cenderung dirasakan oleh China. Hingga saat ini, aspek yang masih menjadi pertanyaan adalah sampai sejauh mana mitra dagang ketiga seperti Indonesia terkena dampak dari eskalasi perang dagang tersebut. Mengingat Cina menjadi pusat perdagangan di Asia, maka dampak limpahan yang ditularkan melalui jaringan produksi ke negara tetangga mungkin cukup besar dan dapat menyebabkan perlambatan perdagangan serta hilangnya daya saing Indonesia.

Dalam sebuah studi tim peneliti Universitas Airlangga fokus menjawab beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana peran Indonesia dalam Rantai Nilai Global (GVC). Kedua, bagaimana spillover effect akibat perang dagang AS-China pada Indonesia. Ketiga, bagaimana dampak perang dagang AS-China terhadap ekspor Indonesia.

Mengingat perang dagang disertai dengan kenaikan tarif impor antara AS dan Cina. Jika AS mengenakan tarif 25% pada barang-barang yang berasal dari China, akan menyebabkan peningkatan harga produk China untuk konsumen Amerika. Kenaikan harga dapat menimbulkan tiga tanggapan yang berbeda. Pertama, konsumen AS beralih ke produk domestik (Amerika) sehingga mengurangi impor dari China. Kedua, konsumen AS mengganti barang China dengan barang dari negara lain (misalnya dari negara-negara Asia lainnya). Ketiga, konsumen AS terus mengimpor barang-barang China dan terpaksa membayar harga yang lebih tinggi.

Hasil penelitian dari tim peneliti Universitas Airlangga memperlihatkan bahwa selama periode 2000-2014, ekspor bruto Indonesia meningkat dari hampir US$70 miliar menjadi US$ 210 miliar. Selama periode tersebut, kandungan nilai tambah domestik (VA) dari ekspor Indonesia berada di kisaran 82% sampai 85%. Artinya, untuk setiap dolar yang diekspor Indonesia, 82% adalah nilai tambah yang diciptakan oleh perusahaan dan pekerja Indonesia, dan 18% adalah konten asing. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Korea Selatan (nilai domestik 73%) atau Taiwan (nilai local 68%), Indonesia memiliki proporsi nilai tambah domestik yang relatif besar dalam ekspor (atau memiliki nilai tambah asing rendah).

Namun, sebagian besar produk Indonesia diekspor sebagai bahan baku atau barang setengah jadi. Persentase ekspor Indonesia bahan baku dan barang perantara dari Indonesia meningkat dari 65% pada tahun 2000 menjadi 74% dari total nilai ekspor pada tahun 2014. Proporsi ekspor bahan baku dan perantara yang besar ini menyiratkan bahwa, jika Cina dan mitra Asia menggunakan input dari Indonesia untuk kepentingan produksi barang ekpsor ke AS, maka ketika terjadi kenaikan tarif akibat perang dagan dapat mempengarui ekspor Indonesia secara tidak langsung.

Sebagai contoh, jika akibat kenaikan tarif yang diberlakukan oleh AS ke Cina menyebabkan penurunan permintaan pada barang-barang Cina yang kebetulan mengandung bahan baku dari Indonesia, maka secara tidak langsung dapat merugikan ekspor Indonesia. Namun, Jika Amerika Serikat mengalihkan pembeliannya ke produk Asia daripada produk Cina, dan dengan asumsi bahwa produk Asia mengandung bahan baku Indonesia, hal tersebut dapat menguntungkan ekspor Indonesia secara tidak langsung. Jika Amerika memutuskan untuk mengkonsumsi barang dalam negeri dan mengurangi impor dari China atau negara asing lainnya, maka bahan baku yang diekspor Indonesia ke China untuk diolah dan diekspor kembali ke AS tidak akan ada lagi.

Tim Universitas Airlangga melakukan estimasi spillover effect (dampak tidak langsung) dari pengenaan tarif antara AS dan China. Simulasi dilakukan dengan tariff rate 25%, yang mendekati tarif riil yang diterapkan antara AS dan China pada tahun 2020. Dengan skenario ini, pengenaan tarif atas barang jadi oleh AS pada China menyebabkan menurunnya ekspor China ke AS sebesar US$38,6 miliar. Jika tarif dikenakan pada barang antara juga maka kerugian bagi China semakin besar yaitu US$42,5 miliar. Bagi Indonesia, kebijakan AS ini berdampak (spillover effect) pada menurunnya ekspor total yang ditujukan untuk pasar AS melalui China sebesar US$330 juta. Sebaliknya, pengenaan tarif 25% oleh China pada AS menyebabkan penurunan ekspor AS sebesar US$17 miliar. Spillover effect dari kebijakan ini bagi Indonesia adalah menurunnya ekspor pada China yang melalui AS sebesar US$40 juta.

Dengan kata lain, skenario tarif bilateral antara AS dan China sebesar 25% dapat berdampak secara tidak langsung terhadap ekspor Indonesia senilai US$ 370 juta dolar. Jika China dan AS mengalihkan permintaan ke pasar Asia lainnya yang dapat memproduksi barang substitusi, maka dampak negatif terhadap Indonesia dapat dikurangi.

Pendekatan alternatif yang dilakukan peneliti dari Universitas Ailrangga adalah dengan melihat dampak terhadap daya saing yang akan muncul seiring dengan kenaikan harga AS dan China akibat tarif. Setelah bea masuk diterapkan, harga barang ekspor meningkat yang menyebabkan penurunan daya saing ekspor. Hilangnya daya saing ekspor China dan AS akibat tarif juga menular ke Indonesia.

Hasil estimasi memperlihatkan bahwa dalam konteks Global Value Chains Indonesia menghadapi suasana yang kompleks. Perubahan 1% pada harga ekspor dari China akan menyebabkan apresiasi harga barang Indonesia sebesar 0,19%. Ini artinya perubahan harga barang di China akan menyebabkan perubahan substansial dalam permintaan terhadap export Indonesia. Relatif tingginya respons juga memperlihatkan bahwa Indonesia semakin rentan terhadap guncangan dalam perdagangan yang terjadi di kasus negara seperti Cina, Eropa dan Amerika Utara yang adalah trade hub dunia. Walaupun elastisitas permintaan nilai tambah Indonesia cukup tinggi (tidak gampang disubstitusi negara lain), hasil simulasi memperlihatkan bahwa Indonesia tetap akan terdampak.

Selanjutnya, tim peneliti melihat dampak trade shock perang dagang AS-China pada Indonesia, dengan mengunakan pendekatan nilai-tambah. Tim menggunakan tariff rate 5% baik oleh AS maupun China. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa pengenaan tarif 5% oleh AS pada barang China menyebabkan menurunnya value-added export China ke AS sebesar -0,359% dan dampak tidak langsung  pada permintaan value-added export Indonesia melalui forward linkages sebesar -0,038%. Pada sisi tarif impor yang dikenakan oleh China pada AS, hasil simulasi menunjukkan penurunan permintaan pada value-added export AS sebesar -0.212%. Pada kasus ini terjadi expenditure switching dari sumber AS menuju produksi domestik China. Oleh karena itu, expenditure switching yang terjadi di China ini berdampak positif pada permintaan value-added export Indonesia yang meningkat sebesar 0.005%. Berdasarkan hasil simulasi tersebut, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa perang dagang AS-China berdampak kecil bagi ekspor Indonesia jika dilihat dari perspektif value-added.

Tim Peneliti Universitas Airlangga: Rudi Purwono, Unggul Heriqbaldi, Miguel Angel Esquivias Padilla, Khoerul Mubin

Link Article:

Purwono, R.; Heriqbaldi, U.; Esquivias, M.A.; Mubin, M.K. The American–China Trade War and Spillover Effects on Value-Added Exports from Indonesia. Sustainability 2022, 14, 3093. https://doi.org/10.3390/su14053093

Rudi Purwono and Unggul Heriqbaldi and Miguel Angel Esquivias and M Khoerul Mubin, (2021) ”The US-China Trade War: Spillover Effects on Indonesia and other Asian Countries”, Economics Bulletin, Vol. 41 No. 4 pp. 2370-2385. http://www.accessecon.com/Pubs/EB/2021/Volume41/EB-21-V41-I4-P205.pdf