Universitas Airlangga Official Website

Dialog Sosial Politik Bedah Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

Potret narasumber Dr Sri Endah Kinasih SSos MSi (kiri) bersama penyiar radio Aldi (kanan) (Foto: SS Youtube)

UNAIR NEWS – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) kembali berkolaborasi dengan radio Mercury FM Surabaya dalam siaran Dialog Sosial Politik, Selasa (27/12/2022). Kali ini, hadir Dr Sri Endah Kinasih SSos MSi selaku dosen antropologi hukum UNAIR yang membahas sejauh mana pelindungan bagi pekerja migran dalam rangka memperingati Hari Migran Internasional yang jatuh setiap 18 Desember.

Pekerja migran sebelumnya dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Istilah TKI kemudian berubah menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Menurut Endah, pergantian dasar hukum tersebut disebabkan karena adanya perbedaan makna antara kata perlindungan dan pelindungan. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, ia mengatakan perlindungan memiliki arti berlindung dimana pekerja migran yang mencari perlindungan ke negara, sementara negara justru bersikap pasif.

“Kalau pelindungan berarti negara harus hadir untuk memberikan pelindungan dari pra penempatan, penempatan sampai purna penempatan. Maka dari itu, UU terbaru ditekankan untuk melindungi pekerja migran sebagai pahlawan devisa negara,” tuturnya.

Endah juga menjelaskan ada tiga klasifikasi pekerja migran yakni pekerja migran yang bekerja di perusahaan berbadan hukum, pekerja migran di sektor informal maupun perseorangan seperti pekerja rumah tangga, dan pekerja kapal atau Anak Buah Kapal (ABK) yang kini telah mendapat hak pelindungan.

Celah Pelindungan

Sebelum penempatan, para pekerja migran umumnya akan menjalani orientasi pra penempatan selama satu hari oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Pekerja ini kemudian mengikuti pelatihan kompetensi bersama Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).

Pada tahap inilah, lanjut Endah, berpotensi terjadi kecurangan yang dilakukan P3MI ilegal (tidak terdaftar di B2PMI atau surat izin perusahaan telah kadaluarsa) dengan memotong upah pekerja untuk alasan biaya pelatihan. Terlebih, saat pandemi Covid-19 yang membutuhkan tes PCR.

“Nah selama ini pekerja tidak paham karena kurangnya literasi, yang penting tanda tangan. Ketika sudah berangkat itu BP2MI saya kurang tahu apakah mereka mengontrol kalau PMI sampai sana masih harus dipotong proses belajar kompetensi di P3MI,” ujarnya.

Adapun perubahan UU Nomor 18 Tahun 2017 bertujuan menguatkan intervensi negara dalam membuat pelatihan kompetensi. Namun, realitasnya pemerintah hingga saat ini belum menyiapkan tempat pelatihan pekerja migran.

Saran

Endah menyarankan perlu ada kerja sama antara pemerintah dan P3MI atau idealnya P3MI bisa diambil alih oleh B2PMI. Selain itu, pelatihan pekerja tidak hanya berhubungan dengan kemampuan berbahasa, tetapi juga membangun pola pikir agar bisa melakukan bargaining position dan memahami budaya negara yang dituju.

Sebagai akademisi, ia berharap kedepannya ada modul pekerja migran secara terpadu. Di sisi lain, melalui kegiatan pengabdian juga bisa melakukan sosialisasi kepada calon pekerja migran di daerah untuk meningkatkan pemahaman mereka dalam membedakan P3MI yang legal dan ilegal.

Penulis: Sela Septi Dwi Arista

Editor: Nuri Hermawan