UNAIR NEWS – Memperingati Dies Natalis Ilmu Sejarah Ke-24, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan diskusi buku yang bertajuk “Indonesia di Mata Australia: Pemikiran dan Kebijakan Gough Whitlam” pada Selasa (15/3/2022) via Zoom. Webinar itu dihadiri Dr Johny Alfian Khusyairi MA selaku Dosen Universitas Airlangga dan Editor buku Indonesia di Mata Australia: Pemikiran dan Kebijakan Gough Whitlam; serta David Reeve, sejarawan dari University of New South Wales.
Latar Belakang Penerbitan
Dalam acara tersebut, Johny memaparkan dua poin yang mendasari penerbitan buku Indonesia di Mata Australia. Pertama, sejarah Indonesia dan hubungannya dengan kawasan pasifik (Oseania).
Secara geografis, di kawasan timur dan tenggara akan ditemui banyak negara kecil yang disebut Melanesia dan Mikronesia. Selain itu, terdapat bukti lain hubungan dari masa lalu yang dilakukan masyarakat Jawa dan beranak pinak di negara Oseania, seperti Melanesia, Mikronesia bahkan Australia.
Kedua, sambung Johny, berkaitan dengan disertasi yang bertajuk “Politik Luar Negeri Australia Di Bawah Pemerintahan Gough Whitlam (1972-1975) Dan Hubungannya Dengan Indonesia.” Dalam disertasi tersebut, ia menerangkan hubungan politik Indonesia dan Australia paling dekat terjalin saat Soeharto dan Whitlam melakukan kerja sama.
“Pertemuannya dengan Gough Whitlam yang diabadikan di Pendopo Soeharto-Whitlam yang menggarisbawahi restu dari negara barat (Australia dan Amerika) terhadap operasi di Timor Timur. Dikarenakan saat itu (Timor Timur) dikuasai golongan kiri (komunis),” katanya.
Baca juga:
Antropolog UNAIR: Ritual Kendi Nusantara Bukan Persoalan Klenik
Hubungan Luar Negeri Australia-Indonesia
Sementara itu, David Reeves memaparkan penulisan sejarah ilmiah Australia terhadap Indonesia yang masih jarang dijumpai. “Buku ini adalah salah satu karya yang menarik. Karena, tulisan ini dikarang orang Indonesia, tentang Australia terhadap Indonesia, dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Kenapa? karena koleksi penulisan sejarah Australia terjemahan jarang ada buku yang benar benar serius dikerjakan,” ucapnya.
Selanjutnya, David menerangkan tiga aspek dalam buku. Pertama, memunculkan latar belakang Whitlam. “Dalam 50 halaman bukunya, Akhmad Khusyairi menuliskan masa kanak kanak (Whitlam) hingga menjadi perdana menteri, untuk menganalisa kehidupan pribadinya maupun pemikirannya,” katanya.
Kedua, imbuh David, berkaitan dengan kebijakan luar negeri dalam masyarakat. Menurutnya, penulisan itu diperlukan untuk melihat persaingan tokoh, departemen, opini masyarakat yang disalurkan melalui pers, serta kebijakan partai.
“Lalu, ketiga, menghilangkan stigma bahwa produk kebijakan luar negeri hanya berasal dari Menlu dan Deplu,” ucapnya.
Sebagai penutup, David menyebut tiga aspek itu akan sangat berguna jika mahasiswa dan akademisi ingin menulis sejarah hubungan luar negeri. Bukan hanya di Australia, melainkan juga beberapa negara yang berkaitan dengan Indonesia.
Penulis: Affan Fauzan
Editor: Feri Fenoria