UNAIR NEWS – Generasi Bank Indonesia (GenBI) UNAIR dan Society of Renewable Energy (SRE) UNAIR menggelar webinar kolaborasi pada Sabtu pagi (23/4/2022). Kegiatan tersebut mengeksplor terkait opsi yang dimiliki Indonesia dalam mengarusutamakan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk ekonomi berkelanjutan. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Wahyu Eka S. hadir sebagai narasumber untuk mengintrodusir urgensi EBT sebagai solusi untuk krisis iklim.
Wahyu mengatakan bahwa lanskap sumber energi Indonesia masih amat dependen dengan batubara dan gas alam. Melansir data dari JATAM, dependensi itu terlukis dalam fakta bahwa 10% wilayah Indonesia adalah tambang batubara. Wahyu menjelaskan bahwa penggunaan batubara selain memperparah krisis iklim, ia memiliki daya rusak lingkungan dan kehidupan masyarakat yang cukup tinggi.
“Di sisi lain, potensi EBT di Indonesia sangat melimpah, terutama energi surya dan angin. Namun mengapa tingkat bauran EBT dalam sumber energi di Indonesia masih rendah, yakni sekitar 12 persen saja? Kenapa kita masih bertahan pada batubara? Urgensi untuk transisi sudah ada, potensi sudah ada, tinggal tunggu political will dari pemerintah saja,” ujar alumni FPsi UNAIR itu..
Wahyu juga mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi yang justru kontraproduktif dengan komitmen carbon net-zero. Ia mengatakan bahwa Jokowi masih membangun PLTU baru, dan masih belum memiliki rencana konkrit untuk mempensiunkan dini PLTU yang sudah ada. Ia juga meragukan rencana penggunaan co-firing dalam pembakaran PLTU dengan biomassa.
“Penggunaan co-firing biomassa membutuhkan kuantitas biomassa dalam jumlah besar. Ia malah justru mengamplifikasi deforestasi. Apalagi Kementerian ESDM RI sudah memiliki skenario untuk membangun industri biomassa terbesar di dunia. Rencana mengarusutamakan energi surya dan angin tidak menjadi prioritas,” tekan aktivis lingkungan itu.
Di penghujung materinya, Wahyu mendesak Indonesia agar segera menuju pada investasi hijau. Dalam konteks transisi EBT, ia juga menekankan pada pembangunan infrastruktur yang tidak menghasilkan kerugian atau konflik di masyarakat. Hal ini didasarkan pada beberapa proyek panas bumi yang masih beresiko di Indonesia, seperti di Sarulla, Gunung Slamet, dan Banyuwangi.
“Dalam perencanaannya, perlu dipertanyakan juga penyediaan energi ini secara kritis. Energi ini untuk siapa dan untuk apa? Hasil finansial ini akan kemana? Resikonya siapa yang akan menanggung? Siapa yang menderita bila ada bencana? Dalam konteks memahami EBT sebagai solusi, pertanyaan itu harus dijawab terlebih dahulu,” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan