UNAIR NEWS – Dokter UNAIR TV kembali menggelar siaran langsung Dokter Berkisah melalui kanal YouTube-nya pada Jumat (19/1/2024). Pada episode kali ini, Dokter UNAIR TV mengangkat tajuk Mengenal Autisme pada Anak dalam Rangka Menghapus Diskriminasi bagi Anak dengan Autisme.
dr Hanna Dyahferi SpA (K) hadir sebagai salah satu narasumber untuk mengisi edukasi tersebut. Menurutnya, autisme merupakan keterbatasan komunikasi, interaksi, dan kemandirian pada seseorang yang berdampak pada kehidupan sosialnya.
Menambah penjelasan dr Hanna, dr Nining Febriyana SpKJ (K) menyebut jika autisme bisa terjadi sejak seseorang masih berada dalam kandungan. Pada masa itu, terjadi penyimpangan pada saraf otak janin sehingga menyebabkan seseorang mengidap autisme.
“Pada saat pertumbuhan di janin itu mengalami suatu penyimpangan, jadi saraf-saraf otak dalam perkembangannya mengalami penyimpangan,” kata dr Nining.
Penyebab dan Gejala
dr Hanna menyebut bahwa etiologi utama yang menjadi penyebab seseorang terjangkit autisme masih belum jelas. Fakta ini tentu menjadi penghambat besar pada pendiagnosaan dan upaya pencegahan untuk meminimalisir terjangkitnya autisme.
“Kalau memang ada problem di sosial komunikasi interaksi, berarti basic-nya pasti otak, ya. ada penyimpangan, tetapi tidak ada satu satu anatomi di otak yang spesifik untuk anak autis. Bisa juga karena logam berat, kemudian juga ada yang secara genetik,” sebutnya.
Mengingat penyebabnya yang belum pasti, sambung dr Hanna, deteksi dini pada gejala autisme merupakan langkah pertama yang bisa menjadi alternatif. Gejala anak penyandang autisme dapat terlihat sejak bayi ketika berada pada usia tiga hingga sembilan bulan.
“Bisa terlihat di usia 3 bulan (dengan kelahiran normal, Red) tidak ada kontak mata, tidak merespon, atau juga gerakan imitasi. Gerakan imitasi pada anak dengan kecurigaan autisme itu susah karena kalau kita melakukan gerakan imitasi itu pasti perlu kontak mata,” jelasnya.
Terapi sebagai Perawatan
Apabila anak terjangkit autisme, salah satu langkah yang dapat meringankan gejalanya adalah dengan melakukan terapi yang bernama terapi perilaku. Menurut dr Nining, terapi tersebut akan membawa anak dengan gangguan autis keluar dari dunianya sendiri dan tidak lagi mengabaikan sekitarnya.
“Karena memang penyebabnya kan belum jelas, jadi terapi utama sebetulnya terapi perilaku. Anak autis ini ‘kan dia hidup di dunianya sendiri, jadi untuk terapinya kita tarik ke dunia kita yang kita sebut terapi perilaku ini,” jelasnya.
Selain terapi perilaku, terapi lain yang bisa jadi peringan gejala autisme yang lain adalah terapi wicara dan sensori integrasi. Pasalnya, anak dengan gangguan autis juga biasanya memiliki gangguan pada wicara dan juga pendengarannya. Terapi obat baru orang tua berikan ketika anak menunjukkan sisi agresivitasnya.
“Pada anak autis, kadang-kadang juga ada gangguan sensitivitas pada sensoriknya, misal pada pendengarannya yang hipersensitif. Jadi dia tidak bisa mendengar suara-suara tertentu. Misalnya suara klakson mobil, tiba-tiba dia menutup telinga sambil nangis,” imbuhnya.
“Untuk terapi obat-obatan itu apabila si anak punya yang namanya agresivitas, misalnya hiperaktif. Hiperaktif itulah bisa kita obati dengan obat-obatan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Badrul Anwar
Editor: Nuri Hermawan