Universitas Airlangga Official Website

Dosen FH UNAIR Terangkan Soal Restorative Justice dalam Gelaran ACT

Dosen FH UNAIR Iqbal Felisiano SH LLM saat memaparkan materi dalam ACT Series 2024 (Foto: PKIP UNAIR)
Dosen FH UNAIR Iqbal Felisiano SH LLM saat memaparkan materi dalam ACT Series 2024 (Foto: PKIP UNAIR)

UNAIR NEWS – Kasus korupsi hingga kini masih kerap terjadi di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk menuntaskan masalah tersebut. Untuk itu, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar Anti Corruption Talk (ACT) Series 2024, Jumat (14/6/2024).

Dalam kesempatan itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) UNAIR Iqbal Felisiano SH LLM menyampaikan tentang restorative justice yang menjadi sebuah penyelesaian sebuah perkara. Iqbal menjelaskan restorative justice adalah sebuah gerakan yang menakar bagaimana pemulihan korban menjadi sebuah prioritas yang utama.

Restorative justice menjadi sebuah pilihan apabila pihak korban tidak ingin pelaku mendapatkan hukuman untuk dipenjara. Kadang korban tidak ingin pelaku dipenjara, korban hanya menginginkan pengembalian barang yang diambil,” ungkapnya.

Sejak sebelum tahun 2020, kata Iqbal, penyelesaian masalah hanya berada pada kondisi bersalah atau tidak bersalah. Jika dinyatakan bersalah, maka akan dihukum penjara, dan apabila tidak bersalah maka akan dilepas. “Restorative justice sejak dulu hanya berdasar pada benar dan salah. Apabila salah maka akan dikenakan penjara dan apabila tidak maka akan dilepas,” tuturnya.

Namun, setelah adanya sistem perundang-undangan baru, ada kemungkinan bahwa hasil dari persidangan apabila ternyata salah, maka akan langsung mendapatkan hukuman penjara. Hal ini untuk mengatasi adanya rumah tahanan yang berisi para tahanan yang overload.

“Solusi mengatasi kejahatan yang tidak signifikan, maka tidak perlu ada proses persidangan untuk memenjarakan dia. Caranya adalah dengan melakukan penegakan hukum berbasis restorative justice,” ujarnya.

Pada praktiknya, lanjut Iqbal, banyak perkara yang seharusnya tidak selesai dengan restorative justice, tetapi justru malah menggunakan restorative justce. Hal ini memungkinkan terjadinya celah tindak korupsi yang terjadi. “Perbedaan prosedur, tidak adanya pelaporan, dan tidak adanya dokumen hukum yang dikeluarkan dalam penghentian perkara menjadi sebuah kelemahan dalam restorative justice,” lanjutnya.

Menurutnya, agar restorative justice dapat menjadi efektif untuk tindak kasus korupsi, perlu ada beberapa cara untuk mengatasinya. Pertama, adanya standarisasi peraturan dalam perundang undangan. “Agar restorative justice menjadi efektif perlunya standarisasi yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, sehingga meminimalkan terjadinya celah kasus korupsi,” ungkapnya.

Selanjutnya adalah adanya pengawasan internal dan instansi penegak hukum. Terciptanya sebuah keseimabangan akan meningkatkan efektivitas mekanisme restorative justice.

Adanya informasi yang transparan dalam restorative justice. Sehingga semua pihak dapat mengetahui berapa banyak kasus perkara yang dikenakan restorative justice dalam penyelesaiannya. “Selain itu, adanya penetapan putusan pembagian perkara dalam restorative justice dan keterlibatan masyarakat menjadi hal yang penting dalam menciptakan efektivitas pada restorative justice,” tutupnya.

Penulis: Ahmad Hanif Musthafa

Editor: Yulia Rohmawati