Universitas Airlangga Official Website

Dosen FIB UNAIR: Puisi, Sastra Menyuarakan Kritik

Listiyono Santoso (kedua dari kiri) saat memaparkan perspektifnya dalam Skriptorium Gapus. (Foto: Istimewa)
Listiyono Santoso (kedua dari kiri) saat memaparkan perspektifnya dalam Skriptorium Gapus. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWSFIB UNAIR mengadakan bedah buku puisi luncuran terbaru alumninya, Adnan Guntur. Berkolaborasi dengan BSO Gapus, FS3LP, dan Weekly Welly kegiatan itu terlaksana di Ruang Siti Parwati Gedung FIB UNAIR pada Senin (18/9/2023). 

Kegiatan ini bertajuk “Skriptorium : Kata Pun Ada Pangkalnya” dengan menghadirkan Listiyono Santoso selaku dosen FIB UNAIR, dan Muhammad Wildan Habiburohman, mahasiswa magister FIB UNAIR, sebagai pembedahnya. Skriptorium itu mengusung antologi puisi berjudul Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api milik Adnan Guntur, yang sekaligus menjadi buku ketiga alumni itu.

Mengulas Nilai Sastra Alumni UNAIR 

Listiyono Santoso mengaku bahwa hasil karya Adnan sangat unik sehingga rumit untuk dipahami dengan cara sederhana. Perlu ada pembacaan yang berulang dan kajian mendalam untuk sampai pada makna yang dituju.

“Kemudian saya membaca pengantar dari Indra Tjahyadi tentang antologi ini dan saya setuju tentang itu. Bahwa puisi adalah bentuk lebih bebas dalam menyuarakan kritik dari pada bentuk sastra lain. Karena dalam puisi serba mungkin untuk disampaikan,” ungkap wakil dekan I FIB UNAIR itu.

Menurut Listiyono, menulis puisi berarti mengabstraksi ide dengan bahasa singkat padat dan bisa menjelaskan berbagai hal yang panjang dan luas. Menurutnya, puisi-puisi Adnan merupakan bentuk kebebasan berpendapat karena pengarang sebenarnya sedang mengungkapkan batin tersembunyi.

Sementara itu, Muhammad Wildan Habiburohman menambahkan bahwa puisi mengandung nilai supresif atau keluar dari kaidah kebahasaan. Puisi yang tergabung dalam antologi itu juga menunjukkan unsur surealis yang kentara. Menurutnya, surealis sendiri merupakan bentuk aliran perlawanan kelas menengah yang menurutnya terlalu terjebak pada zona nyaman.

Ia menambahkan bahwa puisi Adnan hampir sama seperti puisi milik Sutardji yang kaya dengan surealisme. Sebuah perlawanan atas rasionalitas kata dan bentuk bahwa makna bahasa tidak hanya seperti yang tertera di kamus.

“Untuk menanggulangi kegilaannya, Adnan menggabungkan apa yang ia lihat dengan apa yang ada di pikirannya. Misalnya, ia menyebutkan, aku, tuhan, hantu pada puisinya. Sesuatu yang seharusnya berjarak dan jauh, justru kemudian ia leburkan,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa mendekatkan diri ke dunia sastra adalah keharusan. Karena jika tidak, maka akan hilang identitas literasi bagi kita. Kegiatan ini ditutup dengan penampilan musikalisasi dari salah satu puisi Adnan yang berjudul Nyanyian Hitam oleh BSO Gapus.

Penulis : Ilma Arrafi Nafi’a

Editor : Khefti Al Mawalia