UNAIR NEWS – Pasca mengucapkan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto resmi mengumumkan Kabinet Merah Putih pada Senin (21/10/2024). Kabinet tersebut terdiri dari 48 kementerian yang berisi oleh 48 menteri dan 56 wakil menteri. Di kabinet ini, terdapat beberapa penambahan jumlah kursi wakil menteri. Salah satunya kementerian luar negeri yang semula terdiri dari satu wakil menteri, lalu berubah menjadi tiga.
Selain itu, penunjukan Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) juga menjadi diskusi publik. Alasannya, Sugiono bukanlah diplomat karir seperti pendahulunya, Retno Marsudi yang menjabat sebagai Menlu pada Kabinet Indonesia Maju.
Kompromi Politik dan Profesional
Menurut Citra Hennida, S IP MA, salah satu pengajar di departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR, Kabinet Merah Putih merupakan bentuk kompromi antara politik dan profesional. Prabowo mau tidak mau harus menempatkan orang-orang yang mendukungnya selama pemilu di posisi strategis. Antara menjadi menteri atau wakil menteri.
“Posisi Menlu diisi oleh orang politik bisa jadi karena Prabowo akan lebih aktif dalam politik luar negeri dengan lebih banyak hadir atau terlibat langsung ketimbang Pak Jokowi. Tujuan lainnya untuk menghindari pertentangan domestik dan mengamankan dukungan politik. Orang-orang politik dianggap lebih bisa melakukan ini,” terang Citra.
Penunjukan menlu bukan dari diplomat karir bisa jadi ditujukan sebagai pendamping Prabowo ketika menghadiri forum-forum internasional ataupun kunjungan bilateral dan multilateral. Prabowo dengan latar belakang yang dimilikinya bisa jadi lebih aktif daripada Jokowi yang hanya berfokus pada forum-forum ekonomi saja.
“Penunjukan menlu dari non diplomat karir bisa jadi lebih luwes. Namun, keputusan ini tidak terlepas dari sisi negatif. Misalnya, dalam hubungan internasional ada tata cara pergaulan dan prosedural yang rigid. Hal ini biasanya dikuasai oleh diplomat karir. Jika kurang memahami khawatirnya akan memengaruhi proses negosiasi atau bisa jadi yang disampaikan dipandang kurang legitimate secara prosedural atau sebagainya,” ungkapnya.
Jadi Penyeimbang
Menurut Citra, kehadiran wakil menteri luar negeri (wamenlu) dari diplomat karir harapannya bisa menjadi penyeimbang. Akan tetapi, ujung tombaknya tetap di menlu. Dalam pergaulan internasional nantinya, jabatan seseorang sangat menentukan apakah pihak lawan bersedia bernegosiasi atau tidak.
Citra berpandangan kebijakan luar negeri Prabowo nantinya tidak hanya berfokus pada isu-isu ekonomi, tetapi juga lebih aktif dalam isu keamanan. “Kalau kita lihat latar belakang Prabowo dan menlu yang berasal dari kalangan militer, Indonesia mungkin akan lebih aktif dalam isu keamanan. Sikap Indonesia terhadap Palestina saya rasa akan sama di bawah Prabowo. Penunjukan Anis Matta sebagai Wamenlu dari kalangan politik tidak hanya soal Palestina, tetapi juga untuk menjaga relasi dengan negara Arab lainnya,” ujar Citra.
Pada akhir wawancara, Citra mengungkapkan bahwa penambahan jumlah kursi wamenlu tidak terlepas dari pemecahan berbagai kementrian. Seperti terkait pekerja migran, haji, ekonomi, dan sebagainya. Isu-isu semacam itu tentu membutuhkan peran Kementerian Luar Negeri agar dapat terlibat dalam berbagai forum internasional.
Penulis: FISIP UNAIR
Editor: Yulia Rohmawati