UNAIR NEWS – Fenomena kotak kosong kerap kali terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini dinilai mencerminkan kondisi demokrasi yang kurang ideal. Dalam Pilkada, idealnya tidak hanya ada satu kandidat untuk menunjukkan kondisi demokrasi yang berjalan baik. Artinya, politik di suatu daerah tidak hanya terkuasai oleh satu pihak, melainkan ada beberapa pihak yang bisa berkompetisi secara seimbang.
Kalimah Wasis Lestari SIP MSc dosen Ilmu Politik FISIP UNAIR, turut membagikan pandangannya terkait hal ini. Peraturan mengenai pasangan calon tunggal dalam Pilkada teratur pertama kali dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015. Peraturan ini merupakan respons terhadap kebutuhan untuk menjaga proses pemilihan tetap berjalan meskipun hanya ada satu calon yang lolos verifikasi.
Kalimah berpendapat, sebenarnya kotak kosong itu tidak untuk dilawan. Kotak kosong dapat menjadi opsi pilihan untuk melihat apakah satu kandidat yang dicalonkan dianggap layak atau tidak oleh rakyat. Pilihan terhadap kotak kosong adalah pilihan yang legal. Alih-alih melawan kotak kosong, hal yang sepatutnya dilawan justru orang yang enggan berpartisipasi dalam pesta demokrasi (golongan putih). “Yang perlu dilawan adalah tindakan orang yang enggan menggunakan hak pilihnya, karena dampaknya kandidat terpilih tidak dapat mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya,” ujarnya.
Jika Kotak Kosong Menang
Fenomena kotak kosong ini sah dalam Pemilu, bahkan boleh dikampanyekan. Selama tidak melakukan pelanggaran kampanye, seperti memfitnah lawan atau melakukan perusakan. Jika kotak kosong menang, maka akan dilakukan pilkada ulang dalam kurun waktu paling lambat satu tahun, khusus untuk daerah yang mengalami kemenangan kotak kosong.
Maka dari itu, untuk sementara perlu ada pejabat yang mengisi kekosongan sebelum pilkada selanjutnya dilaksanakan. Jika kita melihat dari satu sisi, kemenangan kotak kosong ini dapat membuat para partai tidak asal mencalonkan kandidat. Tak jarang, partai mencalonkan dengan motif yang pragmatis. “Ada wacana perlunya kotak kosong di semua kandidat meskipun sudah lebih dari satu calon, namun ada yang tidak setuju karena nanti jadi PR lagi jika kotak kosong yang menang,” ujarnya.
Fenomena tingginya suara kotak kosong di tahun 2024 ini terjadi karena koalisi yang terlalu besar. Dalam sistem pemerintahan, terdapat ambang batas yang harus dipenuhi, sehingga partai politik dan koalisinya yang tidak mencapai ambang batas tersebut tidak bisa mengajukan kandidat.
Namun, kenyataannya hanya ada ambang batas minimal, sedangkan ambang batas maksimal tidak diatur dan mengakibatkan munculnya koalisi gemuk di berbagai daerah. “Dalam Pilkada 2024 kali ini yang menjadi persoalan adalah adanya kecenderungan partai politik berkumpul dalam satu koalisi besar. Akibatnya, kemunculan oposisi yang memiliki kekuatan beimbang sulit diwujudkan,” pungkasnya.
Penulis: Humas FISIP UNAIR