Universitas Airlangga Official Website

Dosen Hukum UNAIR Beberkan Kriteria Pelanggaran HAM Berat

Gerakan protes keluarga korban dari kerusuhan Mei 1998 (Foto: VOA Indonesia)
Gerakan protes keluarga korban dari kerusuhan Mei 1998 (Foto: VOA Indonesia)

UNAIR NEWSTragedi Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia. Adanya kerusuhan sosial, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan kekerasan pada masyarakat sipil menjadi penanda kemelut tragedi tersebut. Seiring berjalannya waktu, kasus itu terus menjadi sorotan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. 

Namun, beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia (Menko H2IP), Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa peristiwa 1998 tidak tergolong pelanggaran HAM berat. Pernyataan itu kemudian memicu perdebatan dan kritik dari berbagai pihak. Dalam wawancaranya pada Rabu (30/10/2024) Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR), Dwi Rahayu Kristianti SH MA turut menyayangkan sikap Menko H2IP tersebut. 

“Meskipun pernyataan tersebut sudah diklarifikasi, menurut saya, sebagai seorang pejabat tinggi negara seharusnya mempertimbangkan dengan lebih hati-hati. Utamanya ketika membahas isu sensitif seperti HAM,” ujar Dwi Rahayu.

Lebih lanjut, Dwi Rahayu menjelaskan perbedaan antara pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat menurut hukum Indonesia. Hal tersebut telah diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Pengadilan HAM. “Salah satu yang membedakannya adalah pelanggaran HAM berat dapat dibawa ke pengadilan HAM untuk penyelesaiannya,” ujarnya.

Dwi selanjutnya memaparkan bahwa Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 sudah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan HAM. Namun, sambungnya, mekanisme hukum yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan HAM sangat sulit dilalui. 

 Dosen hukum UNAIR, Dwi Rahayu Kristianti SH MA (Foto: Istimewa)

“Meskipun Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa tragedi 1998 termasuk pelanggaran HAM berat, rekomendasi tersebut tidak diindahkan oleh pihak berwenang. Hal ini mencerminkan kesenjangan antara hasil penyelidikan dan tindakan hukum yang diambil,” jelasnya. 

Menurut Dwi Rahayu, ada beberapa alasan mengapa kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sulit dibawa ke pengadilan. Alasan pertama adalah kecenderungan pemerintah untuk menghindari pengadilan kasus HAM masa lalu. Termasuk tragedi 1998, demi menjaga stabilitas politik. “Ini seringkali mengarah pada pengabaian tuntutan keadilan bagi korban,” tegasnya. 

Kedua, proses hukum yang kompleks dan kurangnya dukungan bagi korban menambah kesulitan dalam mendapatkan keadilan. Banyak korban dan keluarga merasa tidak memiliki akses yang efektif untuk menuntut hak mereka.

Oleh karena itu, menurut Dwi, pernyataan Yusril memiliki dampak negatif pada upaya penegakan hukum dan kredibilitas pemerintah. “Jika tujuan dari Undang-Undang HAM dan Pengadilan HAM adalah untuk memberikan keadilan, pernyataan yang meremehkan pelanggaran hanya akan melemahkan kredibilitas negara,” ucap Dwi Rahayu.

Pada akhir, Dwi menambahkan bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah perlu melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap pelanggaran HAM pada tragedi 1998. Selain itu, juga memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban, mengakui hak korban untuk mengetahui kebenaran, serta menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada korban dan keluarga mereka. Upaya itu, sambung Dwi, akan membantu memulihkan martabat korban serta memperbaiki kredibilitas pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia.

Dengan langkah-langkah tersebut, Dwi berharap pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan keadilan dan menghargai hak-hak korban tragedi 1998. “Jika pemerintah ingin memperbaiki kewibawaan dan kepercayaan rakyat, langkah-langkah ini perlu segera dilakukan,” tutupnya.

Penulis: Adinda Aulia Pratiwi

Editor: Yulia Rohmawati