UNAIR NEWS – Surabaya dikenal sebagai salah satu kota yang kaya akan cita rasa kuliner. Tidak sedikit pengunjung yang datang ke Surabaya untuk sekadar menikmati wisata kuliner, khususnya kuliner tradisional. Misalnya saja Rujak Cingur, Semanggi, hingga Lontong Balap.
Kekayaan kuliner di Kota Surabaya selayaknya tidak hanya dipandang sebatas makanan saja. Lebih dari itu, nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal seharusnya tidak luput dari pembahasan. Itulah yang diungkapkan oleh dosen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga (UNAIR), Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari SS MA.
Nilai Makanan Tradisional
Dosen yang baru saja berkolaborasi dengan chef kenamaan Indonesia, Juna dan Renata dalam program Kisa Rasa itu menuturkan bahwa kuliner merupakan salah satu budaya populer. Karena posisinya sebagai budaya populer, maka posisi kuliner bisa cepat datang dan hilang.
“Karena tidak ada basis kulturalnya, hanya sekadar branding artificial, ini milikinya artis ini. Yang abadi itu ternyata adalah punya akar kuat di tradisi akhirnya menjadi kuliner tradisional,” jelasnya.

Kuliner tradisional yang ia maksud adalah kuliner yang telah menjadi ikon dalam masyarakat daerah atau kota. Ia menyebutkan kecocokan masyarakat dengan kuliner asli daerah membuat kuliner tradisional tetap lestari.
“Kalau di Surabaya ada Rujak Cingur, Pecel Semanggi, ada Lontong Balap. Kalau di Jogja ada Gudeg. Itu kan berarti lidah masyarakat sudah seirama dengan kuliner tradisional, maka sampai kapan pun akan tetap lestari,” ujarnya.
Peran Penyedia Bahan Kuliner Tradisional
Ikhsan mengungkapkan esksistensi kuliner tradisional yang terus terjaga hingga saat ini tidak terlepas dari peran penyedia bahan kuliner tersebut. Pasalnya, bahan-bahan dari kuliner tersebut masih dapat ditemui di lingkungan masyarakat saat ini.
“Kalau kita bicara tren bisa bertahan tidak? Karena tren juga harus didukung oleh supporting system. Banyak tren kuliner yang tidak bertahan lama karena tidak memiliki hal itu,” ungkapnya.
Ikhsan juga menambahkan bahwa kuliner yang hanya mengandalkan branding tanpa memperhatikan ekosistem bahan baku yang baik tidak akan bisa bertahan. “Rata-rata hanya membranding penampilan saja. Banyak merk-merk luar negeri yang populer tapi bertahan lama, ya karena ada lingkungan atau ekosistem yang terbangun disini,” imbuhnya.
Bentuk Pelestarian
Ada berbagai cara dalam mewarisi atau melestarikan kuliner tradisional. Namun, menurut Ikhsan, cara yang paling efektif adalah dengan terus mengonsumsinya. Penting untuk mengetahui media agar semakin banyak orang mengonsumsi kuliner tradisional. “Misalnya Rujak Cingur, itu cara melestarikannya ya dengan terus dimakan. Walau resepnya ada, tapi kalau tidak ada yang makan ya sia-sia,” ujarnya.
Selain itu, Ikhsan juga menyoroti bahwa pemerintah memiliki peran vital dalam pelestarian kuliner tradisional dalam hal regulasi. Ia menilai regulasi saat ini masih cenderung spasial dan tidak komprehensif. “Ketika disuruh menanam rempah-rempah itu kan cara merawatnya. Bagaimana pupuknya kan tidak bisa sendiri, harus melewati regulasi,” sebutnya.
Pada akhir, Ikhsan juga menyampaikan pesannya kepada generasi muda berkaitan dengan pelestarian kuliner tradisional. Generasi muda saat ini harus terus berkreasi agar eksistensi kuliner tradisional bisa terus terbangun.
“Generasi sekarang kan eksistensialisme termasuk makan. Makanya kreasi-kreasi terhadap kuliner tradisional itu juga perlu agar anak-anak tetap ngeksis dengan kuliner tradisional,” pungkasnya.
Penulis: Mohammad Adif Albarado
Editor: Yulia Rohmawati