UNAIR NEWS – Isu perubahan batas usia kepala daerah menjadi salah satu topik perbincangan hangat mendekati Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Pasalnya, pada akhir Mei lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materiil Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah.
Keputusan itu tertuang dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputuskan oleh Majelis Hakim MA. Putusan tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Perubahan itu dinilai tidak hanya berdampak pada lanskap politik lokal, tetapi juga pada dinamika kepemimpinan daerah dan kualitas pemerintahan di tingkat lokal.
Kepada UNAIR NEWS, dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga (UNAIR), Ali Sahab SIP MSi memberikan tanggapannya. Ia menuturkan bahwa tindakan MA untuk meloloskan putusan tersebut bukanlah hal yang substansial untuk dilakukan saat ini.
Kepentingan Tertentu
Menurut putusan, MA mengubah batas usia bakal calon kepala daerah. Dari yang semula terhitung sejak penetapan pasangan calon, kemudian menjadi terhitung sejak pelantikan calon terpilih. Prosesnya juga terbilang singkat, hanya butuh waktu tiga hari. Ali menuturkan bahwa besar kemungkinan jika hal tersebut terjadi karena adanya konflik kepentingan.
“Di satu sisi adanya putusan tersebut memang memberi peluang kontestan muda di pilkada, tetapi kita harus jeli bahwa apakah ada konflik kepentingan yang melatarbelakangi putusan itu. Jadi, harus dikaji betul apakah peraturan itu memang berlaku untuk kepentingan bersama atau golongan tertentu saja?” tutur Ali.
Ali kemudian menuturkan bahwa keresahan dari khalayak terhadap putusan itu muncul karena adanya rumor bahwa putusan tersebut dibuat untuk meloloskan anak pejabat berkuasa. Hal tersebut menjadi berbahaya, sambungnya, karena bisa mengarah pada konflik kepentingan dan oligarki.
Representasi Generasi Muda
Beberapa pembelaan muncul dari pihak yang menyetujui putusan MA tersebut. Dengan alasan, pentingnya representasi dan partisipasi generasi muda dalam kontestasi politik lokal. Menanggapi itu, Ali menyebutkan bahwa representasi dan partisipasi generasi muda tidak semata-mata menjadi signifikan karena adanya calon muda.
“Masih ada banyak cara lain untuk meningkatkan partisipasi dan mewujudkan representasi generasi muda di kancah politik lokal. Sehingga tidak perlu mengubah peraturan yang sudah ada. Representasi kaum muda sangat penting. Akan tetapi tetap harus mengindahkan nilai-nilai netralitas dan aturan yang telah berlaku untuk semua,” ungkap Ali.
Meskipun memberikan kesempatan kepada generasi muda, Ali memaparkan bahwa ada kekhawatiran mengenai kualitas kepemimpinan yang mungkin belum cukup matang atau berpengalaman. Oleh karena itu, Ali menekankan terkait pentingnya memastikan bahwa calon kepala daerah memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk memimpin.
Penulis: Adinda Aulia Pratiwi
Editor: Yulia Rohmawati