UNAIR NEWS ā Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat baru saja menetapkan kebijakan work from anywhere (WFA) bagi para pegawai dan ASN (Aparatur Sipil Negara). Kebijakan ini menjadi sebuah terobosan baru khususnya pasca pandemi, mengingat sebelumnya sistem kerja konvensional telah diterapkan.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Psikologi Industri dan Organisasi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Dimas Aryo Wicaksono, SPsi, MSc turut angkat bicara. Ia mengatakan bahwa perlu melihat kebijakan ini secara utuh. Tidak hanya dari sistem kerjanya saja, tetapi juga dari budaya organisasi, individu, dan kesehatan mental pegawai.Ā
Reformasi Birokrasi
Aryo sapaan karibnya menyebut bahwa perubahan kebijakan ini menjadi pilot project dan momentum yang pas untuk melakukan reformasi birokrasi.Ā
āIni bisa menjadi pilot project, momentum reformasi birokrasi yang lebih luas lagi. Bukan hanya bekerja di mana saja, tetapi juga perlu memperhatikan kinerja, kontrol, serta koordinasi pegawai,ā ungkap Aryo.

Aryo menjelaskan bahwa sistem kerja WFA sebenarnya telah ada dan muncul sejak tahun 2000-an. Akan tetapi, terjadinya pandemi Covid-19 membuat sistem kerja ini kembali ramai menjadi perbincangan. Di sisi lain, masyarakat juga telah beradaptasi dengan sistem kerja ini, sehingga bukan sebuah kemustahilan jika sistem kerja ini kembali diterapkan.
Keunggulan dan Kelemahan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kerja ini memiliki kelebihan maupun kelemahan. Aryo menerangkan, salah satu keunggulan dari WFA adalah adanya fleksibilitas yang lebih luas bagi para pegawai. Dalam ilmu psikologi, fleksibilitas ini menjadi salah satu aspek otonom yang dapat membantu meningkatkan motivasi kerja bagi para pegawai.
āOtonomi juga harus imbang dengan umpan balik dari atasan. Karena hal ini nantinya akan berdampak pada kepuasan kinerja pegawai,ā ungkapnya.
Di lain sisi, kelemahan sistem kerja WFA terletak pada aspek koordinasi dan kontrol saat fase adaptasi. Pada fase ini, institusi yang baru menerapkan sistem kerja WFA akan cenderung membutuhkan usaha ekstra, mengingat perlunya persiapan matang untuk melakukan transisi sistem dari konvensional menjadi remote.
āDesain kerja harus tetap menimbang keadilan dan keberlangsungan institusi mengingat tidak semua pekerjaan bisa secara remote. Konsekuensi yang terjadi jika penerapan kontrol tidak tepat adalah terganggunya work life balance para pekerja,ā jelas Aryo.
Perencanaan StrategiĀ
Aryo menilai, kebijakan WFA memerlukan tinjauan ulang agar penerapannya dapat berjalan optimal. Menurutnya, sebuah institusi harus memiliki kebijakan komprehensif serta memiliki regulasi yang mementingkan kesehatan mental pegawai.
Ia menambahkan, institusi harus memiliki sistem kontrol yang jelas sehingga memudahkan pegawai dalam menjalankan kinerjanya. Selain itu, dukungan fasilitas juga harus berjalan seimbang agar pekerjaan dapat tuntas sesuai dengan target yang ada.
āAda beberapa aspek seperti desain kerja, mekanisme kerja, umpan balik dan evaluasi. Hal lain juga menimbang penerapan ini sebagai bentuk efisiensi bukan hanya sebagai hadiah karena kinerja yang baik. Hal tersebut agar tidak menimbulkan persepsi bekerja di kantor sebagai bentuk hukuman,ā pungkas Aryo.
Penulis: Satriyani Dewi Astuti