Universitas Airlangga Official Website

Dosen Psikologi Tanggapi Kasus Perundungan di Lingkungan Akademik

Ilustrasi perundungan (Foto: Freepik)
Ilustrasi Bullying (Foto: Freepik)

UNAIR NEWS – Kasus perundungan di dunia pendidikan tinggi semakin santer terdengar belakangan. Ironisnya, peristiwa ini terjadi pada individu yang secara usia telah dianggap dewasa. Kejadian ini mengusik anggapan selama ini bahwa pendidikan tinggi berbanding lurus dengan kematangan emosional.

Mengomentari peristiwa itu, Dian Kartika Amelia Arbi MPsi Psikolog, dosen psikologi klinis Universitas Airlangga (UNAIR) menyoroti prevalensi perundungan dalam lingkungan hierarkis, seperti di kalangan mahasiswa. Ia melanjutkan, salah satu penelitian Fnais et al. (2014) menyebutkan bahwa lebih dari setengah mahasiswa kedokteran melaporkan pernah mengalami pelecehan atau diskriminasi selama masa pendidikan mereka. “Perundungan yang berkelanjutan dapat memicu dampak psikologis serius. Termasuk kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri,” ungkapnya. 

Dian menyebut, berbagai faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perundungan dan berujung pada tindakan ekstrem seperti bunuh diri. Faktor individu, katanya, seperti masalah kesehatan mental sebelumnya, harga diri yang rendah, dan pengalaman perundungan di masa lalu menjadi beberapa faktor yang berkontribusi. “Selain itu, mahasiswa dengan riwayat gangguan mental seperti depresi atau kecemasan lebih rentan terhadap efek negatif perundungan,” ujarnya. 

Dian Kartika Amelia Arbi MPsi Psikolog, dosen psikologi klinis Universitas Airlangga (UNAIR) (Foto: Dok. Pribadi)
Dian Kartika Amelia Arbi MPsi Psikolog, dosen psikologi klinis Universitas Airlangga (UNAIR) (Foto: Dok. Pribadi)

Lebih lanjut, Dian menjelaskan bahwa lingkungan sosial dan institusional juga berperan penting. Ia mengungkapkan, lingkungan sosial yang tidak mendukung, stigma terhadap kesehatan mental, serta kebijakan institusi yang tidak efektif dalam menangani perundungan menjadi faktor yang memperburuk situasi. 

“Kurangnya dukungan sosial dan kebijakan yang tidak tegas dari institusi dapat membuat pelaku perundungan merasa bebas melakukan tindakan tersebut tanpa konsekuensi. Pada individu dewasa, distorsi kognitif yang muncul akibat perundungan dapat menghambat individu dalam mengambil keputusan yang adaptif ketika menghadapi tekanan. Fenomena learned helplessness juga dapat muncul. Di mana individu merasa tidak berdaya dan dapat memicu gejala depresi dan kecemasan yang berkepanjangan. Bahkan hingga pikiran untuk bunuh diri,” jelas Dian.  

Pada akhir, Dian menyebut perlunya strategi pencegahan yang komprehensif untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Kebijakan anti-perundungan yang jelas dan tegas dari institusi, serta sistem dukungan bagi korban adalah langkah awal yang harus diambil. “Terlebih, akses yang memadai ke layanan kesehatan mental juga menjadi kunci untuk mengurangi dampak perundungan,” ungkap Dian. 

Selain itu, Dian menjelaskan pentingnya peran dosen dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif sangat krusial. “Dosen, terutama dari bidang psikologi, harus menjadi teladan perilaku positif dan inklusif bagi mahasiswa. Dengan menunjukkan empati, rasa hormat, dan kepekaan terhadap perbedaan individu, mereka dapat membantu membangun budaya akademik yang lebih aman dan bebas dari perundungan,” pungkasnya. 

Penulis: Hana Mufidatuz Zuhrah

Editor: Yulia Rohmawati