Universitas Airlangga Official Website

Dosen Psikologi UNAIR: Disabilitas Bagian dari Keberagaman

Iwan W Hidayat memaparkan mengenai penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Disabilitas, istilah yang menjelaskan pada keterbatasan kemampuan secara fungsional, atau ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas. Pernyataan itu disampaikan oleh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Iwan W Hidayat, M Psi, sebagai narasumber webinar PASTEL (Patients Safety Education and Learning): Disability Series oleh Pusat Riset Keselamatan Pasien Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR pada Sabtu (14/5).

Kegiatan diskusi tersebut mengusung tema “Isu-Isu Penyandang Disabilitas dalam Perspektif Kesehatan dan Pendidikan”, juga mengundang akademisi UNAIR, termasuk Pramesti P. Paramita, M Ed (Dosen Fakultas Psikologi), Ika Nur Pratiwi S Kep (Dosen Fakultas Keperawatan), Inge Dhamanti, S K M (Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat), dan Rista Fauziningtyas D Kep (Dosen Fakultas Keperawatan).

“Istilah penyandang cacat sudah tidak digunakan lagi, apabila ada buku-buku yang menggunakan istilah itu berarti buku lama yang belum diupdate. Indonesia mengenal dalam konteks pendidikan, bahwa individu berkebutuhan khusus dari anak-anak sampai dengang dewasa. Berbeda dengan penyandang disabilitas, yang telah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016,” ujar Iwan W Hidayat.

Menurut Pakar Psikologi Pendidikan Anak Berbakat, adanya hubungan dengan pendidikan inklusif bagi semua orang, dari kalangan masyarakat marginal, golongan sosek rendah, daerah terdepan; terpencil; tertinggal, korban bencana alam maupun sosial, golongan penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus. Penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus menghadapi tantangan dalam layanan pendidikan, seperti hambatan akses secara fisik, kurangnya kesadaran masyarakat, kategorisasi yang bersifat umum, proses akomodasi (seharusnya) bersifat kompleks, stereotype, dan sikap negatif, aksesibilitas terhadap materi pelajaran. 

Upaya Pemerintah dalam Pendidikan Inklusif

Sementara Pramesti P. Paramita, M Ed menunjukkan data sebaran Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) jenjang Sekolah Dasar sebanyak 511 di setiap kabupaten atau kota Indonesia, yang menjadi komitmen pemerintah membangun ruang belajar untuk menunjang pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Namun tidak menutupi masalah, antara lain pengembangan budaya inklusif, implementasi kebijakan inklusif, dan pengembangan praktik inklusif. 

“Berbicara dengan konteks inklusivitas, maka sebenarnya inklusif bukan suatu program. Inklusif harus berangkat dari nilai-nilai inklusivitas dan bagaimana kita bagian dari masyarakat kesiapan untuk menerima sekaligus menghargai perbedaan. Jadi, kita memandang disabilitas bukan suatu kondisi kekurangan yang dialami, tetapi pandangan kita ke kondisi disabilitas dan kebutuhan khusus sebagai bagian dari keberagaman di lingkungan masyarakat,” tegas Alumnus Universitas Psikologi Pendidikan Melbourne, Australia

Tantangan yang muncul, lanjut Pramesti, mencakup kesiapan masih bervariasi. Tuntunan untuk sekolah mengubaik baik praktik pembelajaran maupun nilai-nilainya, stigma dan diskriminasi yang masih banyak terjadi. Oleh karena itu, solusi bersama untuk mengembangkan lingkungan tersebut tidak hanya dalam pendidikan nantinya, melainkan dalam masyarakat yang lebih inklusif. 

Ahli Pendidikan Inklusif tersebut mengajak para peserta yang hadir bersama mengembangkan perspektif keberagaman dan kolaborasi dengan berbagai pihak demi menghasilkan inklusif, serta menumbuhkan growth mindset saat menemukan hambatan dalam menerapkannya.  

Penulis: Balqis Primasari

Editor: Nuri Hermawan