UNAIR NEWS – Pemberlakuan tarif senilai US$8 atau kira-kira senilai Rp 125 ribu pada akun Twitter bercentang biru oleh Elon Musk rupanya masih berbuntut panjang. Tak sedikit pihak yang mengkritik aturan tersebut dan merasa kecewa terhadap bos baru Twitter itu.
Menanggapi hal tersebut, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Febby Risti Widjayanto SIP MSc menilai bahwa kebijakan tersebut adalah tindak lanjut dari strategi bisnis yang dilakukan oleh Elon Musk.
Twitter di Ambang Kebangkrutan
Kepada UNAIR NEWS, Febby mengatakan, Elon Musk sudah memiliki rencana untuk melakukan komersialisasi Twitter, salah satunya dengan memberlakukan tarif pada akun bercentang biru. Musk memandang, kebijakan tersebut perlu dilakukan karena menurut perhitungan riil bisnis, Twitter tengah berada di ambang kebangkrutan.
“Media sosial seperti Twitter, terlebih lagi dengan jumlah pengguna yang begitu menjanjikan adalah moda ekonomi yang menggerakkan sebuah industri berbasis informasi di era digital ini. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi selalu lekat dengan masyarakat industri yang berujung pada menggeliatnya konsumerisme dan ekonomi pasar (market economy),” ujarnya.
Febby melanjutkan, pemberlakuan tarif tersebut juga bertujuan untuk mengubah Twitter menjadi sebuah moda ekonomi yang lebih produktif dan menguntungkan. Sebagai seorang insinyur (engineer) yang berpengalaman, Elon Musk pernah berada di situasi yang hampir mirip ketika ia dihadapkan pada kebangkrutan.
“Antara tahun 2006-2008, salah satu lini bisnisnya, SpaceX, hampir bangkrut karena semua peluncuran roketnya mengalami kegagalan. Pengalaman tersebutlah yang berhasil melewati ambang kebangkrutan ini agaknya yang menjadi dorongan utama mengapa dirinya melakukan hal demikian di Twitter,” ungkapnya.
Timbulkan Skeptisisme Pengguna
Lebih lanjut, dosen yang mengampu mata kuliah Politik Digital itu menuturkan, semenjak pemberlakuan tarif tersebut diterapkan, tidak sedikit pihak yang merasa gamang dan skeptis terhadap Twitter. Sehingga, dampak negatif yang bisa timbul adalah terjadinya penurunan pengguna yang diakibatkan oleh kekecewaan mereka terhadap aturan baru Twitter serta sentimen negatif pada gaya manajemen perusahaan ala Elon Musk.
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini akan berupaya untuk mencari alternatif platform microblogging lain dengan model komunikasi yang lebih terdesentralisasi (decentralised) seperti aplikasi Mastodon. Namun di sisi lain, mereka yang cenderung masih mengamati langkah Elon Musk akan bersikap lebih kritis dan cermat.
“Kita juga harus melihat ini dalam konteks ekonomi pasar. Artinya, permintaan dan penawaran akan bertemu secara dinamis. Seiring dengan dampak negatif yang tampaknya terlihat jelas, dampak positif yang dirasakan Twitter juga bukan berarti menjadi tidak ada sama sekali karena perkembangannya pun masih sangat dinamis,” pungkasnya. (*)
Penulis: Rafli Noer Khairam
Editor: Binti Q. Masruroh