UNAIR NEWS – Naiknya biaya pendidikan atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) kerap kali menimbulkan polemik antara mahasiswa dengan perguruan tinggi. Salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia menuai kritik, buntut adanya kebijakan yang mewajibkan mahasiswa penerima keringanan UKT untuk bekerja paruh waktu di kampus tersebut.
Menambah Beban Mahasiswa
Menanggapi hal tersebut, Dosen Sosiologi Pendidikan UNAIR angkat suara. Kepada UNAIR NEWS Kamis (3/10/2024), Dr Tuti Budirahayu Dra MSi menanggapi permasalahan tersebut. Menurutnya, kata ‘wajib’ dalam kebijakan itu menunjukkan kuasa dan diskriminasi dari pihak perguruan tinggi terhadap mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT secara penuh.
“Dengan kewajiban semacam itu, kampus seperti meminta imbalan berupa tenaga mahasiswa untuk meringankan beban universitas. Kondisi ini menurut saya sudah tidak sehat, karena universitas memosisikan diri sebagai perusahaan bukan lembaga pendidikan,” ungkap Tuti.
Tuti kemudian menuturkan jika kampus benar-benar menerapkan kebijakan tersebut maka tentu saja akan menambah beban tugas mahasiswa. Kecuali jika kebijakan tersebut merupakan bagian dari kegiatan magang untuk mahasiswa semester tertentu dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) magang yang jelas. Dengan begitu, sambungnya, kegiatan itu bukan sekadar barter tenaga mahasiswa dengan UKT yang universitas turunkan.
Solusi Alternatif
Lebih lanjut, Tuti menjelaskan bahwa beasiswa seharusnya hak yang harus mahasiswa peroleh. Khususnya bagi mereka yang punya keterbatasan ekonomi. Bukan sebaliknya, yakni menjadikan beasiswa program kemurahan hati pemerintah atau perguruan tinggi negeri.

“Kebijakan tersebut terkesan seperti penindasan terhadap mahasiswa yang dianggap tidak mampu membayar UKT penuh. Padahal dalam prinsip-prinsip keadilan sosial, justru mereka yang lemah dan tidak mampu harus lebih diperhatikan dan dibantu. Bukan malah seperti menjadi buruh,” tegas Tuti.
Dalam hal itu, menurut Tuti penting bagi universitas untuk melakukan evaluasi kebijakan agar saling menguntungkan kedua belah pihak. Yakni universitas sebagai pihak yang memberikan keringanan UKT dan mahasiswa sebagai penerima. Solusi alternatif lain, lanjutnya, dapat berupa kerja sama kampus dengan perusahaan atau instansi mitra untuk memberikan bantuan beasiswa. Dengan demikian, mahasiswa terbantu sekaligus bisa menjalani magang terstruktur di perusahaan dan instansi mitra kampus.
“Jika skemanya adalah memberi kesempatan magang kepada mahasiswa, maka kesempatan magang dengan SOP yang jelas dan terstruktur. Hal itu ke depan akan dapat memberikan wawasan baru dan pengalaman bagi mahasiswa untuk bekal setelah mereka menyelesaikan pendidikannya,” pungkas Tuti.
Penulis: Adinda Aulia Pratiwi
Editor: Yulia Rohmawati