UNAIR NEWS – Ramai di media sosial terkait video puluhan orang tergabung dalam Paguyuban Jukir Surabaya (PJS) melakukan aksi orasi. Dalam orasinya menyampaikan penolakan mereka terhadap metode pembayaran nontunai atau QRIS di Kota Surabaya. Video tersebut dibagikan akun Instagram @aslisuroboyo, pada Senin (15/01/2024).
Konstruksi Realitas
Kepada UNAIR NEWS (16/01/2024), Dr Doddy S. Singgih Drs M Si, dosen Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Airlangga (UNAIR), menilai para juru parkir (jukir) telah belajar mengkonstruksi realitas sebagaimana mereka lihat. Mereka telah belajar berpikir kritis, partisipatif, dan tentu saja aspiratif.
Mengenai penertiban terhadap jukir liar, Doddy menggarisbawahi perlunya pemerintah membina mereka melalui dinas terkait. Sebagai langkah sosiologis, pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan sosial ekonomi jukir, yang mungkin terbatas dalam opsi penghasilan.
“Pemerintah harus membina mereka, dalam arti kebutuhan sosial ekonominya harus pemerintah perhatikan. Hal itu, agar mereka tidak melanggar peraturan, apalagi dengan sengaja,” ujarnya.
Konflik Pilihan Pembayaran
Doddy juga menambahkan, terfokus pada penolakan pembayaran non tunai, pemahaman bahwa hal ini mungkin karena keinginan praktis para jukir. Dalam pandangan mereka, penerapan pembayaran nontunai dapat menimbulkan kerumitan, terutama untuk tarif parkir rendah. Pihaknya menyampaikan pandangan bahwa konflik adalah realitas sosial yang perlu dielaborasi.Â
“Konflik merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihilangkan, yang bisa kita lakukan hanya mengelola agar konflik tersebut tidak destruktif. Solusi terbaik, menurutnya, adalah melibatkan dialog konstruktif antara pihak terkait,” jelasnya.
Perbedaan Persepsi
Melihat protes jukir liar, Doddy menyimpulkan bahwa ini mungkin merupakan bentuk resistensi terhadap kebijakan yang masyarakat anggap tidak memihak mereka dalam konteks sosial. Bagi para jukir, menjadi jukir mungkin merupakan satu-satunya opsi untuk memperoleh penghasilan.
“Protes itu merupakan masalah perut atau perolehan pendapatan, yang memang bagi mereka tidak ada alternatif lain,” terangnya.
Selanjutnya, ,mengenai ketidakpatuhan jukir liar terhadap regulasi parkir, Pihaknya menyoroti perbedaan persepsi antara Pemerintah Daerah (pemda) dan para jukir. Pihaknya berpendapat bahwa konflik ini hasil dari perbedaan pandangan, di mana pemda ingin menerapkan peraturan sementara jukir mencari penghidupan.
Doddy menambahkan untuk keterlibatan masyarakat sesuai dengan kapasitasnya dalam penyelesaian konflik. Terutama konflik antara kepentingan jukir liar dan kebutuhan umum akan tata kelola parkir yang lebih baik di Surabaya. Dalam keterlibatannya, perlu dihindari kontra produktivitas yang dapat menimbulkan ketegangan antara jukir dan masyarakat.
“Keterlibatan tersebut jangan sampai justru kontraproduktif, yang malah membuat gegeran antara jukir dengan masyarakat,” pungkasnya.
Penulis: Satriyani Dewi Astuti
Editor: Nuri Hermawan