Universitas Airlangga Official Website

Dukungan Psikologis bagi Mahasiswa Inklusi

Bani Bacan Hacantya Yudanagara, S Psi M Si, Pakar Kesehatan Mental Komunitas, Psikologi, UNAIR (Foto: Istimewa)
Bani Bacan Hacantya Yudanagara, S Psi M Si, Pakar Kesehatan Mental Komunitas, Psikologi, UNAIR (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Dalam upaya untuk membentuk lingkungan pendidikan yang inklusif, aspek psikologis memainkan peran krusial dalam menunjang pengembangan mahasiswa inklusi. Berbagai tantangan dan perjuangan yang dihadapi oleh mahasiswa difabel yang membutuhkan pemahaman mendalam dan dukungan psikologis berkelanjutan.

Bani Bacan Hacantya Yudanagara SPsi MSi, selaku Dosen Universitas Airlangga, mengatakan bahwa mahasiswa inklusi, sebagaimana semua individu, tidak hanya memerlukan fasilitas dan akses yang memadai di lingkungan kampus, tetapi juga membutuhkan dukungan psikologis dan sosial yang menjadi kunci utama dalam membantu mereka mengatasi tantangan adaptasi di lingkungan akademik. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa mahasiswa inklusi memerlukan usaha ekstra agar dapat mencapai potensi akademik dan pengembangan pribadi mereka.

“Dukungan psikososial bukan hanya sebuah upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan, melainkan juga menjadi faktor pendorong bagi pengembangan bakat dan minat mahasiswa inklusi. Seperti halnya individu lainnya, mereka memiliki potensi untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup mereka ketika mendapatkan dukungan yang sesuai,” ungkapnya. 

Peran utama psikolog sangat vital dalam memberikan dukungan kepada mahasiswa inklusi. Memahami karakteristik dan kebutuhan setiap individu dianggap sebagai langkah awal yang esensial untuk merancang layanan psikologis yang sesuai. Proses ini melibatkan pemahaman yang mendalam terhadap kondisi difabel yang beragam dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Penyesuaian terhadap metode komunikasi yang efektif diakui sebagai komponen krusial dalam pendekatan psikologis. Dalam konteks ini, keterlibatan psikolog dalam proses pendekatan yang sesuai menjadi aspek utama, dengan pemberian fokus pada pemahaman mendalam terhadap karakteristik difabel dan kebutuhan yang lebih spesifik. Selain itu, proses ini mencakup langkah-langkah monitoring, evaluasi, dan kemungkinan perbaikan dalam pelayanan yang disediakan, semuanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peran psikolog.

Bani juga menekankan bahwa layanan psikologis tidak hanya terbatas pada penanganan masalah kesehatan mental, tetapi juga untuk mengembangkan potensi mahasiswa inklusi. Psikolog harus bisa memberikan bantuan dalam pengembangan diri, memberikan konsultasi karir, dan membimbing mereka menuju kesuksesan.

Pendekatan psikologis terhadap mahasiswa inklusi memang berbeda dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. Dalam hal ini, perbedaan terutama terletak pada kebutuhan yang unik dari setiap mahasiswa inklusi. Dukungan akademis dan psikologis perlu disesuaikan agar sesuai dengan difabel yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa.

Evaluasi khusus diperlukan untuk memahami kebutuhan individu dari mahasiswa inklusi. Peningkatan kesadaran terhadap difabel, baik melalui pelatihan internal maupun eksternal, menjadi langkah awal yang sangat penting. Sumber daya, seperti literatur penelitian dan informasi dari media sosial, dapat membantu psikolog memahami kehidupan sehari-hari mahasiswa inklusi.

Dosen psikologi juga memainkan peran penting dalam mendukung mahasiswa inklusi. Dengan memiliki pemahaman mendalam terhadap tantangan yang dihadapi mahasiswa, dosen dapat memberikan bimbingan, mendukung proses adaptasi, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Beberapa program dan inisiatif telah diterapkan di berbagai perguruan tinggi, termasuk salah satunya Airlangga Inklusif Learning. Menurut Bani, program ini melibatkan pelatihan bagi pendamping dan membentuk komunitas yang memberikan dukungan kepada mahasiswa inklusi selama proses perkuliahan.

Tingkat efektivitas dukungan psikologis juga sangat dipengaruhi oleh kerjasama antar tim. Dosen, staf akademik, dan mahasiswa perlu terlibat aktif dan memiliki pemahaman mendalam tentang difabel serta kebutuhan mahasiswa inklusi. Seluruh komponen sumber daya manusia di lingkungan kampus perlu berkolaborasi agar dukungan psikologis tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga mendapatkan dukungan infrastruktur yang memadai.

Bani menegaskan bahwa kesadaran, penerimaan, dan dukungan sehari-hari dari teman, dosen, dan staf kampus sangat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan inklusif. Menerima mahasiswa inklusi sebagai manusia tanpa melihatnya sebagai “masalah” menjadi kunci utama. Mahasiswa juga memiliki peran penting dalam menciptakan kesadaran dan lingkungan yang mendukung. Dengan saling mendukung, stigma dan diskriminasi dapat diatasi. Mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam mewujudkan lingkungan kampus yang inklusif.

Tantangan dalam mendukung mahasiswa inklusi memerlukan komitmen bersama. Dengan kesadaran, pemahaman, dan kerjasama, kita dapat menciptakan lingkungan inklusif yang mendukung perkembangan penuh potensi bagi setiap mahasiswa. Inklusivitas bukan hanya tujuan, tetapi juga cermin dari kemajuan masyarakat pendidikan kita yang semakin memahami dan menerima keberagaman.