Virus Hepatitis B (HBV) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. WHO memperkirakan 257 juta orang atau 3,5% dari populasi di dunia terinfeksi HBV kronis pada tahun 2015. Prevalensi ini lebih tinggi ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika tidak diobati, infeksi hepatitis B dapat menimbulkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Komplikasi jangka panjang ini merupakan ancaman dan menyumbang 96% kematian akibat hepatitis B.
Pada infeksi hepatitis B kronis, tujuan utama terapi anti-virus adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan menekan replikasi HBV dan peradangan hati serta mencegah pengembangan menjadi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Pengobatan anti-virus bertujuan menghasilkan normalisasi alanine aminotransterase (ALT), penekanan HBV DNA, kemungkinan hilangnya HBsAg dan serokonversi menjadi anti-HBS, dan juga perbaikan histologis dengan penurunan peradangan dan fibrosis.
Food and Drug Administration telah menyetujui tujuh obat anti-virus untuk pengobatan HBV kronis: Interferon α2β, Pegylated Interferon (PEG-IFN) α2a, Lamivudine (LAM), Adefovir, Entecavir (ETV), Telbivudine (TDA), dan Tenofovir (Tenofovir disoproxil fumarate – TDF). Obat yang paling umum digunakan adalah peg-IFN, TDF, dan ETV. Namun, di Indonesia, Lamivudine dan Telbivudin masih banyak digunakan karena harganya yang rendah dan ditanggung oleh asuransi kesehatan pemerintah.
Lamivudine, analog sitosin, adalah analog nukleosida pertama yang disetujui untuk pengobatan hepatitis B kronis. Lamivudine efektif dalam mempromosikan serokonversi HBeAg, penekanan DNA HBV, normalisasi ALT dan mengurangi perkembangan fibrosis hati. Namun, pengobatan dengan lamivudine dibatasi karena dapat menyebabkan resistansi virus. Hal ini disebabkan sekitar 68% pasien mengalami resistansi setelah 4 tahun pengobatan dengan obat tersebut. Telbivudine adalah L-nukleosida yang secara struktural terkait dengan Lamivudin dan sangat selektif untuk DNA virus hepatitis B dan menghambat sintesis DNA virus.
Banyak penelitian membandingkan keefektifan pengobatan Lamivudin dan Telbivudin dalam satu tahun dalam konteks komunitas yang berbeda. Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa Telbivudin lebih baik daripada Lamivudin pada respon biokimia, virologi, kehilangan HbeAg, respon terapeutik, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan pada serokonversi HbeAg dan respon HBsAg. Mekanisme molekuler yang mendasari potensi antivirus dari Telbivudin belum sepenuhnya dijelaskan; namun, dapat dikaitkan dengan penghambatan sintesis HBV DNA. Studi lain pada orang dewasa, pasien laki-laki dan perempuan, usia 16-70 tahun dengan pemberian 600 mg telbivudin menunjukkan penurunan HBV DNA yang lebih tinggi dibandingkan Lamivudin.
Berdasarkan dari gambaran di atas, peneliti dari Departemen penyakit dalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya di salah satu jurnal Internasional terkemuka, yaitu New Armenian Medical Journal. Penelitian ini mengambil data dari rekam medis pada kurun waktu 2011-2018 dan melibatkan sebanyak 93 pasien, dengan usia rata-rata pasien yang didiagnosis dengan hepatitis B adalah 49 ± 11 tahun. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh terapi Lamivudin dan Telbivudin selama satu tahun pada pasien hepatitis B kronis, serta menganalisis evaluasi terapi berdasarkan biokimia, virologi, dan status fibrosis (biopsi hati, elastografi sementara, APRI, PLR dan skor FIb-4).
Salah satu kesimpulan penting yang dapat diambil berdasarkan penelitian ini yaitu tidak terdapat perbedaan antara terapi Lamivudin dan Telbivudin selama satu tahun pada pasien hepatitis B kronis berdasarkan biokimia, virologi, dan status fibrosis. Namun pada masing-masing kelompok baik Lamivudin atau Telbivudin, terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan status biokimiawi, virologi, dan fibrosis sebelum dan setelah terapi satu tahun.
Dalam penelitian ini, pada pasien dengan HBeAg positif dan negatif, terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah terapi satu tahun baik dengan Lamivudin dan Telbivudin berdasarkan normalisasi ALT, penurunan DNA HBV, dan status fibrosis dinilai dengan transient elastography, APRI, FIB-4 Index, dan RPR. Jadi Telbivudin dan Lamivudin masih efektif sebagai pengobatan hepatitis B di negara berkembang seperti Indonesia. (*)
Penulis : Ummi Maimunah dan Muhammad Miftahussurur
Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat pada artikel kami di New Armenian Medical Journal berikut:
https://www.ysmu.am/website/documentation/files/7e353e7a.pdf