UNAIR NEWS – The Nuruls, fenomena menarik di media sosial Indonesia, menjadi perbincangan hangat akan identitas, kontroversi, dan transformasi dalam masyarakat modern. Stereotype “The Nuruls” sering digunakan untuk melabeli kelompok tertentu di media sosial. Istilah ini mendefinisikan perempuan usia muda yang berjilbab, pada kelompok menengah kebawah yang memiliki selera pergaulan tertentu.
Kepada UNAIR NEWS (24/01/2024), Nisa Kurnia Illahiati, S Sos M Med Kom, dosen ilmu komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangan yang menarik terkait fenomena ini. Identitas The Nuruls, menurut Nisa, adalah hal dinamis dan tidak terkekang oleh kelompok atau konstruksi sosial.
Remaja perempuan yang berasal dari kabupaten jauh dari pusat kota, membawa ciri visual yang mencerminkan realitas mereka. Banyak ditemui seperti memiliki kendaraan motor scoopy, fashion dengan cardigan warna lilac atau sage, serta selera kuliner seperti cilok, mie gacoan, dan seblak.Namun, perbedaan mencolok muncul ketika mereka cenderung konservatif, sementara remaja perempuan pusat kota memiliki sifat yang lebih rebellious.
“Dalam konteks identitas The Nuruls, kita melihat perubahan yang signifikan. Salah satunya, mereka tidak hanya menunjukkan kekaguman terhadap idola, tetapi juga memperlihatkan ketertarikan seksual dengan cara yang terbuka,” jelas Nisa yang sedang melanjutkan studi media di Melbourn University tersebut.
Kemunculan seperti istilah “rahimku anget” pada proses kelompok ini dalam mengidolakan individu. Menariknya, mereka masih memiliki kesadaran batasan agama seperti menggunakan jilbab, tidak mengkonsumsi alkohol, dan taat dengan orang tua. Disatu sisi mereka juga tetap bisa eksis dengan dunia pergaulan saat ini sesuai dengan tren yang sedang hype.
“Masyarakat seringkali cenderung memberikan label dan menentang keberagaman identitas ini. Namun, di dalam kelompok The Nuruls sendiri, terdapat cara menjaga identitas keagamaan dan sosial mereka. Hal ini menyesuaikan yang diajarkan oleh lingkungan yang cenderung agamis,” ujarnya.

Pengakuan
Penting untuk diakui bahwa identitas The Nuruls terbentuk di tengah tekanan sosial, termasuk ekspektasi dari masyarakat sekitar. Nisa menggambarkan bagaimana mereka harus menjaga nilai-nilai konservatif Islam, namun tetap bergaul dengan lingkungan kota yang cenderung lebih liberal.
Lebih lanjut, Nisa menyoroti peran media sosial sebagai pendorong perubahan identitas. Hal ini terjadi jika sekelompok individu mencitrakan diri dengan hal yang hampir sama. Masyarakat luar cenderung menilai dengan mengelompokkan orang-orang dalam tipifikasi tertentu dan memberikan label. Namun, perubahan identitas ini tidak selalu berjalan mulus.
“Keunggulan media sosial terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan perubahan identitas dengan cepat. Mereka dapat dengan mudah mempromosikan identitas baru mereka tanpa harus melibatkan media massa konvensional,” ungkapnya.
Penting untuk diakui bahwa konsep identitas The Nuruls tidak statis. Dalam konteks cultural studies, mereka terus bertransformasi sebagai respons terhadap perubahan dalam masyarakat dan lingkungan digital. Munculnya resistensi terhadap identitas baru juga menjadi bagian dari dinamika sosial yang tak terhindarkan.
“Meskipun kita tidak harus sepakat dengan preferensi “The Nuruls”, kita perlu menghargai keberagaman itu sendiri. Tidak semua orang memiliki pemahaman identitas yang sama, dan masyarakat di luar “The Nuruls” pasti memiliki perbedaan pendapat mengenai mereka,” jelasnya.
Sebagai penutup, Nisa mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam menilai fenomena identitas seperti The Nuruls. “Pertentangan dan adu identitas selalu ada, tetapi pada akhirnya, setiap individu berhak untuk berinteraksi sosial dan tidak ada yang berhak melabeli atau memangkas hak kelompok tertentu berdasarkan persepsi mereka sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Satriyani Dewi Astuti
Editor: Nuri Hermawan