Universitas Airlangga Official Website

Festival HKI, Koordinator DJKI Kupas Tajam Perlindungan Merek

Koordinator Permohonan dan Publikasi - Merek dan Indikasi Grafis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Adel Chandra Skom MM (Kiri) saat Menjadi Narasumber pada Festival HKI 2024 pada Kamis (29/2/2024). (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS Lembaga Inovasi, Pengembangan Jurnal, Penerbitan dan Hak Kekayaan Intelektual (LIPJPHKI) baru saja menggelar Festival HKI 2024 pada Kamis (29/2/2024). Berlangsung di Airlangga Sharia & Entrepreneurship Education Center (ASEEC) Tower, festival HKI pertama LIPJPHKI itu mendapatkan antusiasme besar dari peserta yang hadir. 

Salah satu agenda menarik dari festival tersebut adalah seminar terkait kekayaan intelektual, khususnya merek dagang. LIPJPHKI mendatangkan Koordinator Permohonan dan Publikasi – Merek dan Indikasi Grafis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Adel Chandra Skom MM.

Mengusung tajuk Perlindungan Hak Merek bagi Para Pelaku Usaha, Adel mengungkapkan jika merek merupakan unsur penting dalam sebuah produk. Dengan merek, produsen bukan hanya mendapatkan identitas produk, tetapi juga memberi nilai tambah, jaminan kualitas, reputasi, hingga aset tak berwujud.

“Dengan penambahan merek, harganya bisa lebih mahal, lebih menjamin kualitas juga, reputasi barang baru juga akan terdobrak jika kita reputasi mereknya baik. Jika merek dijual, itu juga jadi bernilai,” jelas Adel. 

Jika sudah punya merek, Adel menekankan untuk segera melindungi mereknya dengan mengurus kepemilikan Kekayaan Intelektual (KI) berupa merek dagang. Dengan mengklaim merek dagang, produsen telah menjadi pemilik yang sah secara hukum dari merek tersebut.

Adel menjelaskan jika prinsip perlindungan merek dagang ada tiga, yang pertama adalah first to file. Artinya, orang pertama yang mengajukan merek dagang adalah orang yang akan mendapatkan perlindungan dari negara. Itulah mengapa menurut Adel perusahaan besar akan mendaftarkan merek dagangnya terlebih dahulu sebelum merilis produk.

Kemudian ada juga speciality dan territoriality. Artinya, merek dagang tersebut harus jelas untuk barang jenis apa. Selain itu, merek dagang tersebut hanya berlaku di negara tempat merek tersebut didaftarkan. 

“Ketika Bapak Ibu mengajukan merek, Bapak Ibu harus mendeklarasikan merek itu untuk barang apa. Maka harus bisa memetakan untuk produk apa ke depan.”

“Jika Bapak Ibu mendaftarkan merek tersebut di Indonesia, maka hanya berlaku di Indonesia saja. Apabila mengekspor ke Jepang, ternyata di Jepang sudah ada mereknya, maka barang Bapak Ibu akan menjadi barang palsu. Maka cek dulu, sudah terdaftar atau belum,” lanjutnya.

Adel mengakui bahwa usaha untuk mengklaim merek dagang bukanlah proses yang sebentar. Normalnya, proses tersebut bisa memakan waktu delapan hingga sembilan bulan. Masa tersebut bisa semakin lama jika dalam prosesnya terdapat sejumlah kesalahan.

Untuk biayanya, ia juga secara gamblang mengungkapkan jika ada dua kategori, yakni umum dan UMKM. Bagi pendaftar umum, maka biaya yang harus mereka bayar adalah Rp.1.800.000. Sedangkan untuk UMKM, biaya yang harus mereka bayar adalah Rp.500.000.

“Tetapi kalau Rp.500.000, Bapak Ibu harus menyiapkan surat pernyataan dan surat rekomendasi terbitan Kementerian KUKM, Perdagangan, dan sebagainya,” ujarnya.

Meskipun tidak instan, Adel menyebut jika produsen masih memerlukan kepemilikan merek dagang untuk melindungi mereknya. Terlebih, jika merek tersebut sudah memiliki ‘nama’ di masyarakat sehingga tidak ada yang bisa mencurinya. (*)

Penulis: Muhammad Badrul Anwar

Editor: Nuri Hermawan