Universitas Airlangga Official Website

FIB UNAIR Gelar Bedah Buku “Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?”

Max Lane saat memberikan penjelasan dalam diskusi buku (Foto: Screenshoot Zoom)
Max Lane saat memberikan penjelasan dalam diskusi buku (Foto: Screenshoot Zoom)

UNAIR NEWS – Perkembangan politik di Indonesia berbarengan dengan berbagai polemik dan kontradiksi dalam perjalanannya. Kontradiksi dan polemik dalam politik ini mendasari penulisan buku berjudul Saudara Berdiri di Pihak yang Mana? Dalam hal ini, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar diskusi tentang hal yang melatarbelakangi penulis, Max Lane dalam menulis buku tersebut.

Perkembangan Indonesia bermula sejak masa kemerdekaan hingga pada puncaknya, yakni pada reformasi. Akan tetapi, menurut Max Lane perkembangan krusial pada era Orde Baru justru memiliki banyak kekosongan sejarah. Akibatnya, banyak permasalahan yang melekat pada Indonesia. “Pembahasan politik hanya terbatas pada Orde Lama dan Reformasi saja. Pada Orde Baru hanya saat muncul dan keruntuhan saja sehingga banyak yang kosong,” terangnya.

Willibrordus Surendra Broto Narendra atau yang biasa dikenal WS Rendra adalah seorang aktivis sastrawan yang menjadi inspirasi bagi Max Lane dalam menulis buku ini. Pandangannya tentang politik mulai berubah ketika dia bertemu dengan sosok WS Rendra. Hal itu ia tegaskan bahwa dia masih banyak berhutang budi terhadap WS Rendra.

Buku Saudara Berdiri di Pihak yang Mana? karya Max Lane

Sosok WS Rendra menjadi inspirasi bagi berbagai sastra yang Max Lane kerjakan. Termasuk dalam beberapa drama yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. WS Rendra mampu mengemas kritik politiknya dengan kata-kata halus sastra yang sangat fenomenal. “Ada beberapa karya Rendra yang saya terjemahkan dalam bahasa Inggris sehingga dapat dipentaskan,” jelasnya.

Menurut Max, perjalanan politik yang penuh kontradiksi dan polemik yang terjadi pada masa krusial di tahun 70-an. Di mana perselisihan antara pihak Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) memanas hingga pada masa pengangkatan Presiden Soeharto dan pembersihan PKI. “Ketika membaca sastra ini, kita akan mengetahui tentang konflik antara Manikebu dan Lekra,” jelasnya. 

Hingga pada tahun 70-an WS Rendra bersama Max Lane pada kala itu melakukan berbagai aksi teater dan sajak. Tujuannya untuk mengkritisi arti pembangunan yang sebenarnya dari pemerintah. “Pada saat itu, Rendra menampilkan teaternya di depan orang banyak hingga berhenti saat ia pemerintah melemparinya dengan gas. Tetapi banyak yang mengira penampilan tersebut berasal dari pihak Lekra,” ungkapnya. 

Sebagai penutup, Max menyampaikan bahwa anak-anak muda perlu mempelajari suasana politik di tahun 70-an. Ia melanjutkan, pendidikan sastra pada generasi muda di Indonesia sangatlah penting. “Harapan saya pendidikan di Indonesia juga memberikan pelajaran mengenai sastra,” tutupnya.   

Penulis : Ahmad Hanif Musthafa

Editor : Yulia Rohmawati