Universitas Airlangga Official Website

Film Dokumenter All God’s Children Jadi Stimulus Pemahaman Autisme melalui Sinematografi

Sutradara dan Produser Film All God’s Children Robert Lemelson Ph D dari University of California saat menyampaikan paparan. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) bekerja sama dengan Elemental Productions menggelar program Peningkatan Kesadaran Masyarakat tentang Autisme melalui Seminar dan Pemutaran Film Dokumenter All God’s Children pada Sabtu (6/5/2023). Acara itu terselenggara dalam serangkaian acara menuju program Psikologi Mencari Bakat.

Robert Lemelson Ph D dari University of California merupakan sutradara dan produser film dokumenter All God’s Children. Ia telah banyak melakukan penelitian dan pembuatan film di Indonesia, terutama tentang kejiwaan dan budayanya.

“Saya melakukan penelitian tentang hubungan penyakit jiwa dan budaya. Saya juga film maker dan sudah bikin lebih dari 20 dokumenter tentang banyak hal tentang budaya dan spirit Indonesia,” jelasnya. 

Tantang Film All God’s Children

Film All God’s Children mengisahkan tentang kehidupan Idris yang menyandang tuna wicara sekaligus autisme dan bagaimana perjuangan Isti, ibu Idris, untuk membesarkan Idris. Film ini juga berfokus pada pandangan orang-orang di sekitar Idris dalam memandangnya sebagai penyandang autisme.

Isti mengatakan bahwa ia memiliki perasaan yang campur aduk ketika mengetahui bahwa anaknya didiagnosa mengidap autisme. Ia merasa malu, sungkan, dan takut dengan tingkah Idris sebelum akhirnya berdamai dengan kondisi Idris.

“(Ketika, red) Ngamuk itu gigitinya dirinya sendiri, atau orang di sampingnya dijorokin, dicubit, ditendang gitu,” ungkapnya.   

Ayah kandung Idris sekaligus mantan suami istri mengatakan bahwa segala macam cara telah ia lakukan untuk mengobati Idris. Tidak hanya medis, bahkan cara-cara tradisional pun ia lakukan dengan mengharap kesembuhan Idris.

“Saya pengen Idris ini normal. Saya ingin sekali normal seperti anak yang lainnya. Kita coba mulai di dokter, kita mencoba melalui dukun, dan sampai membuat saya habis,” terangnya.

Kehidupan Idris dan keluarga menjadi berubah ketika bersekolah di Yayasan Bina Anggita. Ia mendapat pembiayaan untuk bersekolah di sana melalui pembuatan film ini dan merubah kepribadian Idris jauh lebih baik. 

Berawal dari Ketertarikan 

Melalui panelis yang bertugas sebagai penerjemah, Lemelson mengungkapkan bahwa pembuatan film tersebut berawal dari ketertarikannya pada kultur Indonesia dalam menerima seseorang setelah gangguan jiwa. Hal ini tidak banyak ditemui di negaranya, yakni Amerika Serikat.  

“Beliau mendalami hal ini dan melihat bahwa orang dengan gangguan jiwa di Indonesia itu sesudah mereka mendapatkan treatment, mereka bisa pulang ke rumah. Mereka bisa menikah, diterima oleh masyarakat, bisa punya anak, dan kemudian bisa bekerja semampu mereka,” tuturnya.

Lebih lanjut, Lemelson juga tertarik mengenai bagaimana Indonesia menangani anak dengan gangguan autisme. Latar belakangnya sebagai antropolog juga menjadikannya memiliki ketertarikan mengenai budaya yang menjadi media terapi untuk menangani autisme.

Harapan melalui Sinematografi

Dengan membuat film dokumenter, Lemelson berharap bahwa keterjangkauan pemahaman mengenai autisme bisa menjadi lebih luas. Berbeda dengan tulisan, dokumentasi dalam bentuk sinematografi akan lebih mudah dan menarik bagi atensi publik.

“Harapan Dr Lemelson itu bisa bermanfaat, terutama di Indonesia, dan juga secara global,” tutupnya. (*)

Penulis: Muhammad Badrul Anwar

Editor: Nuri Hermawan