UNAIR NEWS – Krisis iklim bukan sekadar isu lingkungan, melainkan tragedi kemanusiaan yang merenggut hak asasi dan masa depan jutaan orang. Bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan atau krisis iklim memaksa mereka untuk meninggalkan tanah air lintas negara bahkan benua.
BEM FISIP Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Kementerian Sosial dan Lingkungan Hidup menyelenggarakan Talkshow FISIP Green Society yang mengusung tema “Sikapi Isu Iklim dan Pengungsi”. Talkshow itu berlangsung di Ruang Soetandyo, FISIP UNAIR, Kampus Dharmawangsa-B, pada Jumat (31/5/2024).
Climate Mobility
Berdasar data Pengungsi Internal Global, jumlah pengungsi pada 2019 mencapai angka 46,9 juta. Angka tersebut terbagi menjadi dua penyebab. Akibat konflik berjumlah 20 juta, sedangkan bencana iklim dan non-iklim mencapai 26 juta.
Sementara di Indonesia sendiri, isu mobilitas penduduk lantaran bencana iklim dan non-iklim menembus angka 8,1 juta sepanjang tahun 2008-2023. Terdiri atas 2 ribu bencana yang melanda.
“Penyebab paling banyak mereka (orang Indonesia, Red) meninggalkan negeri ini disebabkan oleh bencana banjir. Penduduk pulau Jawa mendominasi, disusul Sumatera,” papar Panjitresna Prawiradiputra selaku salah seorang pemateri sekaligus National Programme Officer The International Organization for Migration (IOM) MUN.
Panji menegaskan, migrasi penduduk tidak hanya dipicu oleh konflik di suatu negara, tetapi juga perubahan iklim. Hal itu disebut sebagai climate mobility. Climate mobility mengacu pada perpindahan orang-orang yang secara sukarela ataupun terpaksa melakukan migrasi agar dapat beradaptasi di suatu tempat karena dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim berpengaruh terhadap sumber daya dan merusak lingkungan. Selain itu memperburuk kesenjangan sosial lantaran masyarakat marginal tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi.
Dampak Kesehatan bagi Climate Refugee
Istilah pengungsi iklim atau climate refugee merujuk pada individu yang terpaksa meninggalkan rumah akibat dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Migrasi manusia sebagai respons terhadap perubahan iklim bukanlah hal yang baru. Melainkan, sudah terjadi sejak 1,9 juta tahun yang lalu.
“Misalnya, di Afrika terjadi kekeringan. Jadi, penduduknya mengungsi ke benua lain. Jika terus menetap di sana (Afrika, Red), selain membuat mereka menderita, lama-lama bisa mempengaruhi bentuk tengkorak manusia,” ungkap Dr Sri Endah Kinasih S Sos M Si, pemateri dari segi akademisi di Talkshow FISIP Green Society.
Lebih lanjut, Endah memaparkan, para climate refugee berisiko tinggi membawa penyakit bagi penduduk di negara tujuan. Hal tersebut dapat memicu efek domino yang dikenal sebagai efek boomerang. Ketika sebuah negara menerima sekelompok imigran, maka risiko penyakit menular seperti kusta, malaria, dan sifilis tak dapat terhindarkan.
Hal tersebur dikarenakan beberapa faktor. Misalnya, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan di negara asal mereka, kondisi hidup yang tidak sehat di kamp pengungsian, dan lemahnya sistem kesehatan di negara tujuan.
Efek boomerang dari penyakit menular yang dibawa oleh pengungsi dapat memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan masyarakat di negara tujuan. Selain itu, stigma dan diskriminasi terhadap pengungsi dapat meningkat. Mereka akan dicap sebagai pembawa penyakit dan memperburuk kondisi mental serta emosional para pengungsi.
Penulis: Diana Febrian Dika
Editor: Feri Fenoria
Baca Juga:
APHSA FKM Gelar Seminar Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan Masyarakat
FIKKIA Gelar Kuliah Tamu tentang Perubahan Iklim: Perspektif Ekonomi & Desain