UNAIR NEWS – Beberapa waktu lalu Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Dr. Ni Made Mertaniasih, dr., MS., Sp.MK(K) bertolak ke Jepang selama dua pekan. Agenda lawatannya kali ini untuk membicarakan kolaborasi riset di bidang diagnostik penyakit TB dengan sejumlah pakar mikrobiologi di sana.
Kolaborasi riset ini terkait dengan Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang digagas oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Seperti diketahui, PMDSU adalah beasiswa program percepatan pendidikan yang diberikan kepada lulusan sarjana yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang doktor. Program ini dirintis sejak tahun 2012 lalu. Dengan masa pendidikan selama empat tahun, para mahasiswa kandidat Doktor ini akan dibimbing oleh para profesor handal dengan track record penelitian dan publikasi internasional.
Prof Made terpilih menjadi salah satu guru besar promotor dari FK UNAIR untuk batch III program PMDSU. Selain Prof Made, terpilih juga dua guru besar lainnya yakni Prof. Soetjipto, dr., MS, Ph, dan Prof Agus dari Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR.
Di Jepang, Prof Made bersama Dr Djohar Nuswantoro MPH dan tiga mahasiswa peserta PMDSU bertemu sejumlah pakar mikrobiologi TB terkait program research fellow untuk mendalami topik molekular tuberkulosis.
Di sana, mereka menjumpai Prof Sokiji Matsumoto seorang pakar imunologi TBC dan teknologi Loop mediated isothermal amplification (LAMP) untuk TB di Niigata University School of Medicine and Dental. Kemudian bertemu Manabu Ato Ph.D untuk mendiskusikan persiapan vaksin dan diagnostik TB di Nipong Institute of Infectious Diseases (NIID) Tokyo. Terakhir menjumpai ahli bio informatika Fumito Maruyama Ph.D di Kyoto University School of post graduate in Medical Sciences.
Melalui program ini, masing-masing guru besar promotor berkewajiban membimbing dan mensupervisi penelitian tiga mahasiswa peserta PMDSU. Mahasiswa juga ditarget menghasilkan riset berstandar internasional, minimal dua buah publikasi hasil riset di jurnal internasional.
“Pemerintah dalam hal ini mendukung para guru besar untuk melakukan supervisi terhadap penelitian mahasiswa peserta PMDSU,” ungkapnya.
Prof Made menilai, program PMDSU dapat meningkatkan sinergi antara pendidikan dan penelitian. Dengan cara ini maka penambahan jumlah doktor yang memiliki pengalaman menikmati atmosfer penelitian yang unggul bisa tercapai.
“Program ini tidak hanya menguntungkan peserta PMDSU, tapi juga bagi promotor. Karena ini bisa menjadi peluang bagi para guru besar untuk menambah partnership di luar negeri,” ungkapnya.
Selain itu, Wakil Dekan III FK UNAIR juga menilai bahwa program tersebut dapat mengingkatkan kemajuan riset di lndonesia, menguatkan kolaborasi dengan negara-negara maju, menguatkan produk riset yang inovatif, serta menguatkan publikasi ilmiah.
“Saya berharap semoga hasilnya bisa dipanen di 2018. Namun prosesnya masih panjang, masih banyak PR berat untuk mahasiswa sampai memperoleh data dan hasil analisis yang valid, kemudian dilakukan supervisi, direview oleh guru besar dari luar negeri, sehingga nanti hasil risetnya berstandar internasional,”ungkapnya.
Berangkat dari pengalaman penyelenggaraan PMDSU tahun 2013 dan 2015 serta dari hasil monev oleh tim DIKTI (Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti), maka berbagai penyempurnaan dilakukan pada prosedur hibah untuk menjalankan batch ketiga pada tahun 2017.
“Kami guru besar akhirnya seperti belajar lagi. Memahami lebih dalam lagi proses riset berstandar internasional yang akan membawa kemanfaatan berkelanjutan. Untuk itu penelitian para peserta PMDSU ini sebaiknya terus dilanjutkan sampai membuahkan hasil berwujud produk obat dan diagnostik, bukan hanya sebatas target jurnal,” ujarnya. (*)
Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha
Editor : Binti Q. Masruroh