Universitas Airlangga Official Website

FKM UNAIR Ajak Mahasiswa Kenali Washoku, Kuliner Tradisional Jepang

Assoc Prof Masaharu Kagawa PhD ketika memberikan materi pada acara Public Health Airlangga University Summer School (PHAUSS) 2022, Selasa (6/9/2022). (Foto: Ghulam Phasa P)

UNAIR NEWS – Sebagai salah satu universitas terbaik dunia, Universitas Airlangga selalu berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Melalui Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga mengupayakan SDGs poin kedua, yakni zero hunger.

Hal tersebut dibuktikan melalui gelaran Public Health Airlangga University Summer School (PHAUSS) 2022. Bertajuk Transition in Japanese Cuisine: Washoku and Health, acara itu mengundang Assoc Prof Masaharu Kagawa PhD. Acara yang diselenggarakan pada Selasa (6/9/2022) bertujuan untuk mengupas transisi masakan washoku dari masa ke masa.

Kagawa mengatakan bahwa washoku ada sejak zaman Jomon, 14.000 sampai 1.000 tahun sebelum masehi. Pada awalnya, masyarakat Jepang memasak tumbuhan, binatang liar, dan biota laut menggunakan alat dari tanah.

“Pada saat itu, masyarakat (Jepang, red) belum punya akses terhadap nasi,” tuturnya.

Masyarakat Jepang baru mengenal nasi sebagai bagian dari Washoku ketika terjadi akulturasi budaya dengan Cina dan Korea.  Kontak masyarakat Jepang dengan nasi terjadi melalui tiga jalur. Jalur langsung dari Cina, jalur Utara dari Korea, dan jalur Selatan dari Asia Tenggara.

“Perlu beberapa waktu hingga nasi bisa menyebar ke seluruh wilayah Jepang. Lambat laun, penanaman padi menjadi populer di seluruh Jepang,” ujar ahli antropometri ini.

Di Asia Tenggara dan Asia Timur, nasi umumnya dimakan bersama daging babi dan ayam. Kedua binatang tersebut dinilai mudah diternakkan. Akan tetapi, tidak ditemukan bukti bahwa masyarakat Jepang pada saat itu beternak babi.

“Tetapi ada tanda-tanda mereka (masyarakat Jepang, red) beternak ayam.”

Budaya menanam padi melahirkan penemuan sushi pada zaman Yayoi. Sushi pertama kali dibuat menggunakan ikan dan nasi yang diberi garam. Sushi merupakan salah satu bentuk pengawetan makanan paling awal.

“Setelahnya, pembuatan sushi berkembang menjadi lebih rumit,” terang Kagawa.

Perkembangan washoku juga terjadi karena adanya pertukaran budaya. Pada zaman Dinasti Tang, budaya Jepang tercampur dengan Cina. Penyebaran agama Buddha di Jepang membuat daging sapi, kuda, anjing, monyet, dan ayam tidak lagi dikonsumsi.

“Ikan kemudian menjadi sumber protein penting,” jelas associate professor Kagawa Nutrition University ini.

Ketika budaya barat mencapai Jepang, washoku mengalami akulturasi dengan kuliner Eropa. Biskuit, permen, dan roti menjadi bagian dari washoku. “Masyarakat mudah menerima budaya dari luar. Mereka mudah beradaptasi dengan bahan masakan dan resep baru,” ungkapnya.

Kedamaian pada masa Edo membuat washoku berkembang. Di zaman ini juga ditemukan penjual makanan dan resep masakan. Tempura, sushi, dan soba menjadi makanan yang populer di era ini. Bahkan, terdapat perbedaan ukuran dengan makanan yang dikonsumsi di era modern.

“Sushi yang dibuat di zaman Edo berukuran lebih besar,” ujarnya.

Kemajuan zaman juga berdampak terhadap washoku. Kerja sama dengan Amerika membanjiri Jepang dengan teknologi dan budaya baru. Pemulihan ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II memunculkan jenis makanan baru di Jepang: mie instan.

“Produk makanan yang efisien waktu ini diterima dengan sangat baik oleh masyarakat,” jelasnya.

Penulis: Ghulam Phasa P.
Editor: Khefti Al Mawalia