UNAIR NEWS – Prof Dr dr Ahmad Yudianto SpFM (K) SH MKes resmi dikukuhkan menjadi guru besar Universitas Airlangga (UNAIR) pada Rabu (10/8/2022). Pengukuhan tersebut mengantarkan Prof Ahmad menjadi guru besar aktif ke-120 di Fakultas Kedokteran UNAIR, guru besar ke-552 sejak UNAIR berdiri, dan guru besar ke-260 sejak UNAIR ditetapkan menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH).
Prof Ahmad dikukuhkan menjadi guru besar UNAIR dalam bidang Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Ia menyampaikan pidato berjudul Identifikasi Forensik pada Mass Disaster dan Tindak Kejahatan di Indonesia Melalui Sibling DNA dan Cel Free Fethal DNA. Pidato tersebut menyoroti tentang pentingnya penanganan identifikasi personal korban bencana maupun kecelakaan.
“Identifikasi personal merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat bersifat fatal dalam proses peradilan,” jelas Prof Ahmad.
Identifikasi Personal dengan Analisis DNA
“Identifikasi personal dengan bahan DNA sebagai bahan pemeriksaan berbasis pada polimorfisme nukleotida yang merupakan rangkaian pengulangan DNA. Identifikasi personal melalui analisis DNA merupakan alat diagnostik yang akurat dalam bidang forensik,” terang Prof Ahmad.
Akan tetapi, Prof Ahmad menjelaskan bahwa dalam proses identifikasi personal menggunakan analisis DNA seringkali dihadapkan pada kondisi bahan atau spesimen degradasi. Selain itu, identifikasi personal menggunakan analisis DNA juga kerap dihadapkan pada kondisi tidak tersedianya informasi dari orang tua, sehingga diharuskan menggunakan kindship analysis misalnya dengan saudara kandung/sibling.
Sibling DNA dan Cell-Free Fethal DNA
Prof Ahmad memaparkan bahwa yang berperan penting dalam sibling analysis yaitu allele sharing. “Dalam sibship/siblings analysis yang berperan penting yakni adanya allele sharing. Allele sharing dalam penentuan saudara kandung sangat berguna menjalin hubungan ketika kedua allele terlibat. Secara statistik saudara kandung (full siblings) memiliki probabilitas ketetapan 2 allele : 25 persen. Nilai ini sama seperti tidak memiliki allele yang sama atau 0 allele, sedangkan ketepatan 1 allele mencapai 50 persen,” terangnya.
Sehingga, karena adanya kelemahan pada sibling analysis ini, Prof Ahmad merasa diperlukan adanya marka lain dalam identifikasi personal yakni dengan DNA mitokondria.
Selanjutnya, Prof Ahmad juga menjelaskan lebih lanjut tentang cell-fethal free DNA yang merupakan DNA inti sel. “Adanya DNA inti sel pada fethal free menunjukkan kandungan satellite DNA yang di dalamnya terdapat short tandem repeat atau STE. STR yang terdapat di dalam fethal free DNA merupakan fusi dari DNA/STR yang berasal dari ayah dan ibu sesuai hukum mendel. Sehingga penggunaan cell-fethal free DNA merupakan non invasif metode dalam identifikasi sebuah tindak kejahatan, seperti tuduhan inses, kekerasan seksual, dan kasus pengabaian anak,” jelasnya.
Diharapkan sibling analysis dan cell-fethal free DNA dapat membantu dalam proses identifikasi forensik dalam kasus-kasus mass disaster dan tindak kejahatan. Sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus dapat diyakinkan untuk membuat sebuah keputusan yang tepat. (*)
Penulis : Tristania Faisa Adam
Editor : Binti Q Masruroh