Universitas Airlangga Official Website

Guru Besar FEB Sebut Polemik Buang Susu Adalah Fenomena Gunung Es

Ilustrasi susu sapi. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi susu sapi. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Sejumlah produsen susu sapi di Jawa Tengah hingga Jawa Timur ramai-ramai membuang susu hasil produksinya. Sebab, karena tidak terserapnya susu sapi produksi lokal oleh industri pengolahan susu (IPS) akibat pembatasan kuota. 

Boyolali, Jawa Tengah misalnya, para peternak sapi perah dan pengepul susu melakukan aksi membuang susu dengan mandi susu, menggunakan susu yang tidak terserap industri. Hal serupa juga terjadi di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Sebuah perusahaan pengepul susu melakukan aksi sebagai bentuk protes terhadap pembatasan kuota pengiriman susu ke pabrik pengolahan. 

Menanggapi polemik ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD memberikan tanggapan. Menurutnya, permasalahan produksi susu merupakan fenomena gunung es, antara peternak lokal dan Industri Pengolahan Susu (IPS).

Lebih lanjut, Prof Rossanto menjelaskan terdapat dua penyebab utama dalam polemik ini. Yakni masalah kualitas dan harga. Menurutnya permasalahan ini bermula dari sistem peternakan, metode pemerahan, hingga penyimpanan pasca-pemerahan yang tidak sesuai standar.

“Hanya 30% koperasi yang mampu menjaga kualitas susu sesuai standar industri, sementara sisanya gagal memenuhi kriteria. Padahal, kualitas sangat krusial. Karena industri tidak bisa menerima susu yang tidak sesuai standar,” jelas Prof Rossanto.

Masalah lainnya adalah harga. Peternak lokal menawarkan susu dengan harga sekitar Rp9.000 per liter, sementara susu impor yang memiliki kualitas lebih terjamin dengan harga lebih murah. Kebijakan perdagangan bebas, seperti Selandia Baru dan Australia, memungkinkan susu impor masuk tanpa bea masuk, sehingga harganya lebih kompetitif.

“Banjir produk impor ini membuat industri lebih memilih susu impor daripada susu lokal,” imbuhnya.

Guru Besar FEB UNAIR, Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD. (Foto Istimewa)

Kebutuhan susu sapi di Indonesia mencapai 4,6 juta ton per tahun pada tahun 2024, namun produksi domestik hanya mampu memenuhi sekitar 18 persen dari total kebutuhan. Sisanya sekitar 80 persen, melalui impor. Sebagian besar produksi susu lokal berasal dari koperasi susu, yang menyuplai 70 persen kebutuhan domestik, sementara 30 persen lainnya suplai oleh pengolahan susu modern.

Melihat situasi ini, Prof Rossanto berpendapat pemerintah perlu melakukan upaya untuk menjaga dan mempertahankan industri susu nasional. Dengan memastikan agar susu peternak lokal terserap semua.

Menurutnya, peternak membutuhkan pelatihan dan dukungan teknologi untuk meningkatkan kualitas produksi. Hal ini mencakup perbaikan sistem pemerahan, penggunaan wadah penyimpanan yang higienis, hingga pengolahan susu pasca-pemerahan sesuai standar industri.

“Terkait kualitas, perlu ada pembinaan dan bantuan fasilitas dan teknologi. Koperasi susu harus membina para peternak susu. Selain itu, pemerintah bisa mendirikan BUMN khusus pada sektor pengolahan susu, terutama pada daerah yang berpotensi,” paparnya.

Terakhir, Prof Rossanto berpendapat perlu adanya sinergi antara pemerintah, koperasi, industri, dan peternak lokal. “Tanpa intervensi yang tepat, ketergantungan terhadap impor akan terus meningkat, peternak susu lokal akan mati,” tutupnya.

Penulis: Tsaqifa Farhana W

Editor: Khefti Al Mawalia