UNAIR NEWS – Menjadi komponen utama dalam sistem kesehatan global, profesi perawat memainkan peran penting baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Terprediksi, pada tahun 2030, kebutuhan perawat di seluruh dunia akan mencapai lebih 13 juta perawat. Fenomena tersebut memberikan peluang besar bagi perawat Indonesia untuk dapat berkiprah di ranah global, atau dengan kata lain menjadi perawat migran. Namun, peluang ini juga mengharuskan tenaga perawat memiliki profesionalisme dan kompetensi yang unggul.
Masalah tersebut menjadi sorotan Prof Ferry Efendi SKep Ns MSc PhD, Guru Besar bidang Keperawatan Komunitas, Fakultas Keperawatan (FKp) Universitas Airlangga (UNAIR). Resmi dikukuhkan pada Kamis (19/12/2024), di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen Kampus MERR-C UNAIR, ia menyampaikan orasi ilmiah. Orasi tersebut bertajuk Potensi Profesionalisme dan Kompetensi Perawat Indonesia dalam Kontestasi Pasar Kerja Kesehatan Global.
Dalam orasinya, Prof Ferry menjelaskan bahwa penting sekali untuk memahami tingkat kemampuan kompetensi dan profesionalitas perawat Indonesia. Ia menekankan, isu migrasi ini berkaitan erat dengan fenomena bonus demografi penduduk saat ini yang berdampak juga dengan jumlah perawat di Indonesia.
“Oleh karena itu, pembahasan tentang perawat migran tidak hanya sekadar melihat peluang dan tantangan di pasar kerja global. Melainkan juga sebagai pemicu untuk revitalisasi kualitas pendidikan serta kebijakan tata kelola keperawatan di Indonesia,” tuturnya.
Tantangan Perawat Migran
Fenomena perawat Indonesia bermigrasi ke luar negeri sebenarnya telah terjadi dan berkembang dari lama. Namun, ia mengungkapkan bahwa hal tersebut turut membawa permasalahan signifikan siklus migrasi yang terdiri dari tahap pramigrasi, saat migrasi, serta pasca-migrasi.
Tahap pramigrasi merupakan pondasi krusial dalam siklus migrasi. Sehingga, Prof Ferry mengatakan bahwa tahap ini perawat migran yang berencana untuk bermigrasi sering kali menghadapi tantangan, mencakup keterbatasan dalam kemampuan bahasa, kurangnya pemahaman terhadap budaya negara tujuan, serta rendahnya minat dan kesiapan mental.
Lalu, memasuki masa migrasi, Prof Ferry mengungkapkan bahwa perawat migran Indonesia tidak hanya akan menghadapi hambatan berbahasa saja. Melainkan, berbagai macam tantangan akan mulai bermunculan terutama dalam hal adaptasi kebudayaan. “Karena adaptasi budaya ini tidak hanya melibatkan pemahaman terhadap kebiasaan masyarakat setempat. Tetapi juga kemampuan berinteraksi,” imbuhnya.
Sementara itu, pada tahap pasca-migrasi, risiko brain waste menjadi tantangan utama perawat migran Indonesia hadapi setelah kembali dari luar negeri. Prof Ferry menjelaskan, brain waste adalah kurangnya pemanfaatan kompetensi perawat migran setelah mereka kembali. “Jadi, idealnya kita mengupayakan siklus migrasi yang seimbang. Sehingga, perawat migran tetap berkontribusi kepada negara asal melalui transfer ilmu dan pengalaman,” jelasnya.
Sinergi Berbagai Pihak
Lebih lanjut, Prof Ferry menyampaikan bahwa perawat migran Indonesia memegang peran strategi dalam memperkuat sistem kesehatan global. Khususnya di negara-negara besar yang membutuhkan tenaga kesehatan seperti Australia dan Singapura. Oleh sebab itu, ia menekankan betapa pentingnya untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi perawat migran melalui sinergi dari sektor pemerintah, pendidikan, hingga masyarakat.
“Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan strategis untuk mengoptimalkan sumber daya manusia keperawatan sebagai pusat keunggulan untuk Indonesia Emas 2045. Hal tersebut dapat diterapkan melalui pelatihan pramigrasi, meningkatkan pengakuan internasional perawat migran, dan juga melaksanakan program mentorship bersama perawat yang telah kembali,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Prof Ferry juga mendorong institusi pendidikan keperawatan untuk setidaknya mengaplikasikan kurikulum pembelajaran yang lebih adaptif terhadap tren pasar kerja tenaga kesehatan. Serta mengoptimalkan inovasi atau penelitian yang mendukung kesejahteraan pekerja migran terutama di bidang keperawatan.
“Dan yang terakhir, Masyarakat, terutama keluarga, juga dapat berkontribusi dengan memberikan dukungan moral dan emosional bagi para perawat Indonesia di luar negeri. Di sisi lain, masyarakat juga dapat memanfaatkan pengalaman perawat migran Indonesia untuk memperkuat sektor kesehatan lokal melalui inisiatif kolaboratif berbasis komunitas,” pungkasnya.
Penulis: Nadia Azahrah Putri
Editor: Yulia Rohmawati