Universitas Airlangga Official Website

Guru Besar UNAIR Ciptakan Terobosan Baru Penanganan Epilepsi

UNAIR NEWS – Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Prastiya Indra Gunawan dr SpA(K) menyoroti kasus kejang yang sering terjadi pada anak. Sayangnya, hasil pendiagnosaan kejang sebagai epilepsi atau bukan yang selama ini menggunakan pemeriksaan elektroensefalografi (EGG) kerap menemui kesalahan.

“Akibatnya, hasil EEG sering salah arti sehingga menyebabkan pendiagnosaan yang berlebihan tentang epilepsi dan obat antiepilepsi berkepanjangan yang sebenarnya tidak perlu,” ungkap Guru Besar Fakultas Kedokteran UNAIR itu.

Bersamaan dengan pengukuhan guru besarnya pada Rabu (18/10/2023), ia menyampaikan satu inovasi penanganan kejang yang lebih tepat dan aman. Terobosan itu ia rangkai dalam orasinya yang berjudul Kejang pada Anak: Tantangan Diagnosis dan Terapi pada Negara dengan Sumber Daya Terbatas.

Terobosan Penanganan Kejang

Pada umumnya, tata laksana penanganan kejang adalah dengan memberikan diazepam melalui rektal. Hanya saja, Prof Prastiya melihat ada satu kendala yang selalu menghambat penggunaanya termasuk ketidakefisienan waktunya. 

Oleh karenanya, Prof Prastiya melakukan penelitian dan menciptakan satu terobosan dengan menggunakan midazolam secara intramuscular ataupun intranasal. Inovasi tersebut mampu menjawab permasalahan yang terdapat pada metode-metode penanganan kejang sebelumnya.

“Midazolam intramuscular mampu menghentikan kejang dalam tempo 45 detik, sedangkan midazolam intranasal mampu menghentikan kejang dalam tempo 42 detik. Berbeda dengan diazepam rektal yang mencapai 180 detik,” terang Prof Prastiya.

Kendati demikian, tidak semua kejang epilepsi dapat teratasi dengan hanya memberikan obat. Tidak sedikit juga kejang justru menunjukkan resistensi yang kuat terhadap dua obat kejang adekuat. Pada kasus ini, pengobatan yang dapat menjadi alternatif penanganan menurut Prof Prastiya adalah bedah epilepsi.

Pembangunan Pusat

Sayangnya, tidak semua fasilitas kesehatan mampu untuk melakukan tindakan bedah epilepsi. Dengan kemajuan teknologi saat ini, Prof Trias berpikir perlunya pembangunan pusat pelayanan epilepsi yang komprehensif. Gagasan itu juga telah ia sampaikan dalam Konferensi N-20 saat pertemuan KTT G-20 di Bali tahun 2022 lalu.

“Kunci untuk memulai epilepsi center ini adalah assemble the right team with the right people yang mempunyai pendekatan yang sama untuk menangani epilepsi,” imbuhnya.

Pusat tersebut nantinya bukan hanya menjadi tempat penanganan, melainkan juga tonggak perbaikan stigma di masyarakat. Banyak penderita yang merasa terkucilkan oleh lingkungan, terhambat dalam kariernya, dan bahkan merasa gagal dalam kehidupan rumah tangganya.

Dengan terbangunnya pusat tersebut, Prof Prastiya berharap penyandang epilepsi bukan hanya mendapatkan penanganan kesehatan, tetapi juga kehidupan sosialnya. Ia juga mengajak semua orang untuk bersama-sama turut peduli pada penderita epilepsi. (*)

Penulis: Muhammad Badrul Anwar

Editor: Binti Q Masruroh