UNAIR NEWS – Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) diperingati setiap tanggal 8 Maret. Perayaan spesial bagi kaum hawa ini bertujuan untuk memperingati pencapaian sosial, ekonomi, budaya, politik, dan perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan di seluruh dunia.
Sejalan dengan peringatan tersebut, Dr. Pinky Saptandari, Dra., M.A, Dosen Kajian Gender Departemen Antropologi FISIP UNAIR sekaligus pegiat pemberdayaan wanita, membagikan pandangannya terkait perempuan dan kesetaraan.
Berdasarkan data dari Kementerian Perempuan dan Pemberdayaan Anak, per-Januari 2024, terdapat 3.267 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mirisnya, permasalahan yang berkaitan dengan hak-hak perempuan masih belum memberikan penyelesaian yang signifikan. Ditambah lagi, beredarnya stigma dan diskriminasi terhadap korban kekerasan, kurangnya peran perempuan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan, beban ganda perempuan dalam pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan formal, hingga akses yang tidak setara. Hal tersebut tentu saja memperlemah posisi tawar perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, terdapat stereotip gender yang mengakar subur di masyarakat seperti pandangan yang membatasi peran dan potensi perempuan serta objektifikasi perempuan dalam media dan budaya populer. Akibat kompleksnya permasalahan tersebut, Pinky menilai pentingnya hari peringatan perempuan agar dapat merangkul inklusivitas dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak bagi perempuan.
“Sangat penting dan relevan. Mengingat konvensi-konvensi internasional, ratifikasi, dan aturan turunan berangkat dari isu global yang diangkat oleh PBB,” ungkap Pinky.
Kendati demikian, menurut Pinky, hanya segelintir orang yang memahami arti penting Hari Perempuan Internasional. Pada hakikatnya, tidak sedikit permasalahan terkait kesetaraan perempuan yang harus diurai dan segera diatasi.
“Tantangan yang dihadapi saat ini adalah kesadaran kritis yang belum terasah akibat hegemoni dan dominasi patriarki. Baik di sektor domestik dan publik. Era digital belum menjadikan isu gender sebagai hal penting. Pelecehan atau kekerasan berbasis gender online terus meningkat,” imbuhnya.
Kontributor aktif jurnal kesetaraan gender itu menyebut perayaan Hari Perempuan Internasional bukan sekadar selebrasi setahun sekali. Kesetaraan hak perempuan perlu diwujudkan tidak hanya pada saat tanggal 8 Maret. Tidak juga pada saat peringatan Hari Kartini maupun Hari Ibu Nasional. Melainkan, setiap hari adalah kesempatan untuk memperoleh hak mengenyam kesetaraan bagi seluruh perempuan di dunia.
Oleh sebab itu, Pinky berpesan kepada seluruh perempuan di dunia, jangan takut untuk mengambil peran di masyarakat. Mulai suarakan narasi perempuan berdaya, perempuan berkarya.
“Aktiflah berorganisasi dan mendidik diri untuk lebih peka gender,” pungkas Pinky.