n

Universitas Airlangga Official Website

Hindari Hewan Lahir Cacat dengan Paparan Teratogenesis

Kukuhkan gubes FKH
Prof. Dr. H. Bambang Poernomo Soenardirahardjo, Drh.,Ms.. Pa Vet. (K) yang dikukuhkan menjadi guru besar bidang Ilmu Embriologi Veteriner dari Fakultas Kedokteran Hewan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen Kampus C, UNAIR, pada Kamis (14/12) saat memberikan pidato. (Foto: Bambang Bes)

UNAIR NEWS – ”Potensi Paparan Teratogenesis untuk Menghindari Kejadian Cacat Lahir pada Hewan” menjadi judul orasi pengukuhan guru besar baru FKH UNAIR Prof. Dr. H. Bambang Poernomo Soenardirahardjo, Drh.,Ms.. Pa Vet. (K). Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ilmu Embriologi Veteriner dari Fakultas Kedokteran Hewan pada Kamis (14/12) di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen Kampus C, UNAIR.

Guru besar dalam bidang Ilmu Embriologi itu membuka orasi ilmiahnya dengan memberikan paparan  mengenai tentang embriologi yang mencakup tentang perkembangan embrio normal. Baginya, hal ini diperlukan agar lebih mudah untuk memahami berbagai kajian tentang prinsip dan deskripsi yang terkait dengan efek paparan teratogen.

“Karena itu, untuk memahami mekanisme teratogen, terlebih dahulu harus tahu perkembangan embrio sejak pertemuan kedua gamet,” jelasnya.

Perihal perkembangan embrio, Prof. Bambang juga menjelaskan bahwa perkembangan itu ditandai dengan perkembangan blastosul yang terjadi pada fase blastula. Blastosul, bagi dia, berfungsi sebagai bantalan bagi perkembangan embrio. Namun, dalam setiap fase perkembangan embrio, menurut Prof. Bambang, terjadi tingkat kerentanan terhadap teratogen yang berbeda.

”Masa yang paling sensitif untuk menimbulkan cacat lahir pada hewan atau ternak adalah masa kebuntingan minggu ketiga hingga kedelapan,” imbuhnya.

Selanjutnya, untuk meminimalkan hewan lahir cacat dengan paparan teratogenesis, Prof. Bambang menjelaskan cara kerja teratogen. Menurut dia, mekanisme kerja teratogen dibedakan menjadi tiga. Yakni, mekanisme kerja teratogen dalam tubuh maternal, kerja teratogen dalam plasenta, dan kerja teratogen dalam tubuh embrio.

”Meski demikian, beragam sifat zat kimia teratogen melibatkan beberapa mekanisme tertentu,” tegasnya.

Pada akhir orasi, Prof. Bambang memaparkan kematian embrio. Menurut dia, kematian embrio diartikan sebagai kematian fertilitas ovum dan embrio sampai dengan akhir implantasi. Kurang lebih, tambah dia, ada 25–40 persen kasus kematian embrio dini yang terjadi dalam peternakan. Kematian itu lebih sering terjadi pada periode awal embrio daripada periode akhir.

”Kematian embrio dini dianggap sebagai proses eliminasi genotipe yang tidak sehat pada setiap generasi atau adanya kebuntingan ganda pada sapi dan domba,” pungkasnya. (*)

Penulis: Nuri Hermawan

Editor: Feri Fenoria