Universitas Airlangga Official Website

HRLS UNAIR Kupas Premis Perlindungan Konsumen sebagai HAM

Ria Setyawati (kiri) sedang bersiap untuk menyampaikan materinya dalam diskusi HRLS, sambil menunggu Direktur HRLS UNAIR Franky Butar Butar sedang menyampaikan sambutan. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Human Rights Law Studies (HRLS) UNAIR kembali menggelar seri diskusi untuk yang kedelapan kalinya pada Jumat siang (8/4/2022). Pada sesi ini, akan dikupas urgensi perlindungan hak konsumen sebagai bagian dari HAM. Pakar Hukum Perdata UNAIR Ria Setyawati SH LLM diundang menjadi narasumber untuk membahas topik tersebut.

Ria menjelaskan bahwa maksud dari perlindungan konsumen adalah untuk mensejajarkan posisi antara pembeli dan penjual, yang pada dasarnya memiliki ketimpangan. Premis tersebut terejawantahkan dalam UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Bilamana perlindungan konsumen adalah bagian dari HAM, maka bagaimana bila ia bertabrakan dengan hak lain? Seharusnya ia dimenangkan karena HAM merupakan hukum tertinggi. Namun, terdapat kasus dimana hak cipta dimenangkan sekalipun itu bertentangan dengan hak perlindungan konsumen,” ujar Koordinator Pengmas HRLS UNAIR itu.

Namun, Ria mengatakan bahwa membingkai hak perlindungan konsumen sebagai HAM itu tak mustahil. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan konsep kesejahteraan konsumen. Ia menjelaskan bahwa kesejahteraan konsumen melihat perlindungan konsumen dengan lebih luas.

“Tak hanya terbatas pada perlindungan pada saat jual beli saja, melainkan memperhatikan aspek seperti: apakah harga yang diberikan pada konsumen sudah adil? Hal tersebut tentu beririsan dengan aspek persaingan usaha,” ujar lektor itu.

Ria menekankan bahwa konsep tersebut dapat mengaitkan perlindungan konsumen dengan hak untuk mendapatkan kesejahteraan, yang itu merupakan bagian dari HAM. Ia menambahkan bahwa pengaitan kesejahteraan konsumen dengan HAM, membolehkan praktik-praktik bisnis yang kotor dan merugikan konsumen sebagai pelanggaran HAM.

“Dimisalkan praktik kartel minyak goreng yang menyengsarakan masyarakat belakangan ini. Hal tersebut harus dipandang lebih jauh dari sekadar kejahatan persaingan usaha saja, melainkan sebagai pelanggaran HAM. Hal ini dikarenakan konsumen yang membutuhkan minyak goreng sebagai kebutuhan dasar menjadi tak terpenuhi, sehingga kesejahteraan konsumen tak tergapai,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan