UNAIR NEWS – Anak-anak merupakan pilar utama masa depan Indonesia dan dunia. Mereka mewakili sebagian besar populasi penduduk, di mana lebih dari sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak. Anak-anak juga yang menjadi penentu wajah masa depan ekonomi. Sustainable Development Goals (SDGs) Center Universitas Airlangga (UNAIR) mengadakan Innovative Finance Discussion. Kegiatan itu mengusung tajuk “Mengintegrasi Hak-Hak Anak ke dalam Keputusan Investasi serta Tata Kelola Lingkungan, Sosial dan Perusahaan (ESG)”.
Agenda ini terlaksana pada Kamis (26/9/2024) di Ruang Tarumanegara, ASSEC Tower, Kampus Dharmawangsa – B UNAIR. Kegiatan ini menghadirkan para pemateri, salah satunya adalah Fajar Kristianto Gautama Putra, Dosen Akuntansi FEB UNAIR sekaligus Wakil CEO Pusat Studi ESG UNAIR itu mengupas ESG (Environmental, Social, and Governance) dan hak anak dalam SDGs.
Environmental, Social, and Governance (ESG)
Memulai pemaparan, Fajar menjelaskan perkembangan istilah konsep keberlanjutan (sustainable) yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan pertama kali ada dalam laporan UNWCED. Kemudian berkembang menjadi konsep 3P, Profit, People and Planet hingga yang kini berkembang menjadi 17 pilar SDGs.
Menurutnya konsep keberlanjutan adalah upaya untuk menjaga kehidupan pada generasi selanjutnya menjadi lebih baik. Karena kondisi Bumi yang semakin mengkhawatirkan, tujuan keberlanjutan yang pada awalnya hanya berfokus pada corporate level naik menjadi country level. “Dengan konsep ini, berfokus pada generasi generasi saat ini agar tidak meninggalkan PR (pekerjaan rumah, red) ke generasi berikutnya,” ungkap Fajar.
Penerapan framework ESG menjadi semakin penting bagi perusahaan. Pasalnya, pemangku kepentingan termasuk investor, konsumen, dan masyarakat luas semakin memperhatikan bagaimana perusahaan menjalankan tanggung jawab mereka. Terutama pada aspek lingkungan dan sosial, serta praktik tata kelola yang baik.
“Bicara soal perusahaan dengan sustainable investment atau profit jangka panjang. Adalah perusahaan yang ingin memaksimalkan profit dengan lebih bertanggung jawab, dengan menerapkan ESG framework,” imbuhnya.
Hak Anak dalam konteks ESG
Lebih lanjut, Fajar memaparkan terkait hak anak yang belum ada spesifik concern dalam ESG. Ia menyampaikan bahwa bahasan hak anak pada perusahaan adalah sebatas tidak boleh merekrut anak dibawah umur sebagai pekerja perusahaan.
Dari paparannya, berdasarkan Global Reporting Initiative (GRI) beberapa poin yang menyinggung soal hak anak ada pada GRI 414 tentang Penilaian Sosial Pemasok, GRI 408 tentang Pekerja Anak dan GRI 412 tentang Penilaian Hak Asasi Manusia. Menurut Konvensi 138 ILO menetapkan usia minimum perusahaan boleh mempekerjakan anak adalah usia 15 tahun.
“Tidak ada section khusus yang membahas hak anak. Tetapi masuk dalam poin human rights. Pun dalam standar nasional maupun internasional definisi hak anak sebatas tidak ambil supplier yang merekrut pekerja anak,” paparnya. Kendati demikian, isu yang berkembang tahun ini adalah bagaimana Hak Anak dari perspektif anak sebagai pekerja karena keinginan sendiri.
Fajar mencontohkan salah satu kasus yang ada di Indonesia anak yang bekerja di lokasi di daerah remote – kelapa sawit dan tambang – pekerja mengajak serta seluruh keluarganya termasuk istri dan anaknya.
“Bagaimana pemenuhan anaknya? Anak ingin membantu pekerjaan orang tuanya, namun dianggap sebagai pekerja anak. Culture perspektif (anak ingin membantu orang tua, red), akhirnya berlawanan dengan konteks pekerja anak,“ tutupnya.
Penulis: Tsaqifa Farhana W
Editor: Yulia Rohmawati