Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta telah lama dikenal sebagai wilayah dengan tingkat pencemaran udara yang tinggi selama beberapa decade terakhir, seiring dengan perkembangan wilayah tersebut bukan hanya sebagai pusat pemerintahan akan tetapi juga sebagai pusat aktivitas perdagangan di Indonesia. Disisi lain telah diketahui bersama bahwa kualitas udara menjadi isu penting dalam Kesehatan karena dampaknya yang cukup signifikan terhadap kesehatan populasi global, terutama di negara berkembang dengan kondisi kualitas udara yang buruk. Disamping telah berkembangnya penelitian yang menilai kualitas udara di kota – kota besar dunia, akan tetapi masih terbatas studi yang meneliti kualitas udara di Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2020 – 2021. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa distribusi secara temporal serta mengkuantifikasikan korelasi antara kadar PM10 dengan parameter meteorologis dengan harapan akan bermanfaat dalam pengembangan teknik serta kebijakan pengendalian pencemaran udara, juga diharapkan mampu menyediakan informasi dasar untuk trend polusi udara dimasa mendatang.
Dalam studi ini menemukan bahwa terdapat korelasi yang cukup bermakna antara konsentrasi PM10 di DKI Jakarta pada periode 1 Januari 2020 sampai dengan 31 Maret 2021 (selama 456 hari) dengan faktor perubahan meteorologis yang meliputi suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Suhu udara rata – rata berhubungan secara positif dengan kadar debu partikulat PM10, sedangkan kelembaban dan kecepatan angin berhubungan secara negative dengan kadar debu partikulat PM10. Peningkatan kadar debu partikulat PM10 terjadi sejak bulan April 2020 dan konsentrasi debu partikulat PM10 diperkirakan akan terus menurun beberapa bulan setelah Maret 2021. Dari hasil studi ini bisa disimpulkan bahwa penerapan PSBB selama masa pandemi 2020 – 2021 tidak menurunkan kadar debu partikulat tanpa adanya pengendalian emisi pollutan dari wilayah yang berdekatan Kadar PM10 tertinggi tercatat pada bulan Agustus 2020 dan mengalami titik terendah pada Desember 2020.
Pemerintah DKI Jakarta telah menerapkan 12 tahapan PSBB, sehingga kadar cemaran diharapkan lebih rendah, Hasil studi yang menenjukkan adanya peningkatan kemungkinan didorong oleh polusi lintas batas/ cross border pollution, dimana Jakarta di kelilingi oleh area penyokong seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang. Sumber yang lain menyebutkan bahwa wilayah – wilayah tersebut sebagai kluster aglomerasi Surban masih memiliki intensitas kegiatan yang cukup tinggi untuk industry, kegiatan komersial, perkantoran, transportasi serta kegiatan domestic selama masa pandemic 2020 – 2021.
Pola secara temporal menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi bersamaan dengan implementasi tahap pertama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan oleh pemerintah DKI Jakarta mulai bulan April 2020. Hal tersebut sejalan dengan temuan dari studi sebelumnya bahwa kadar debu partikulat PM2.5 mengalami peningkatan sebesar 14% selama bulan Januari – Juni 2020, sedangkan Index Kualitas Udara/ Air Quality Index (AQI) pada tahun 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan index AQI pada tahun sebelumnya.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO telah menyampaikan beberapa parameter kunci atau ukuran yang menjadi penanda kualitas udara suatu wilayah termasuk diantaranya adalah debu partikulat/ pariculate matters (PM), ozone (0), Nitorgen oxide (NO), Sulphur dioxide, sedangkan PM10 merupakan parameter utama untuk melihat apakah suatu wilayah mengalami polusi udara atau tidak. Komponen penyusun PM10 terdiri atas sulphate, sodium, debu mineral, nitrat, air serta ammonia. Debu partikulat sendiri merupakan kombinasi antara material padat terlarut dan material cair dengan ukuran kurang dari 10 microns yang memungkinkan masuk ke dalam organ pernafasan bawah. Paparan dalam jangka panjang terhadap polutan udara PM10 meningkatkan resiko angka kematian akibat dari masalah Kesehatan jantung dan pembuluh darah serta kondisi pernafasan yang merugikan Kesehatan yang dapat mengarah kepada dampak fatal dan menginisiasi terjadinya kanker paru.
Wilayah yang berkontribusi terhadap polusi debu partikulat (PM10) di dunia adalah Afrika, bagian timur Mediterania, Asia Tenggara, dimana kadar debu partikulat di wilayah – wilayah tersebut sebesar 7 kali lebih tinggi dari kadar populasi dunia secara global. DKI Jakarta sebagai salah satu kota besar di Asia Tenggara dengan kepadatan tinggi lebih dari 10 miliar penduduk dan terkenal dengan sumber pencemaran bersumber dari emisi kendaraan, industry pabrik, serta aktivitas domestic. Selama pandemic COVID19 pemerintah DKI Jakarta menerapkan 12 tahapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dimana durasi pada setiap tahapannya adalah 14 hari yang dimulai pada 9 April 2020. Selama PSBB, pemerintah menerapkan pembatasan aktivitas transportasi, tugas perkantoran, sekolah dan aktivitas pendidikan, aktivitas keagamaan, serta perdagangan dimana studi terdahulu telah membuktikan bahwa emisi dari aktivitas – aktivitas tersebut berperan sebagai penyumbang utama polusi udara di dalam kota
Hasil penelitian secara global telah melaporkan bahwa pembatasan pergerakan dan aktivitas masyarakat secara global selama pandemic COVID19 pada tahun 2020 – 2021 telah menghasilkan penurunan secara bermakna terhadap kadar polusi udara pada 34 negara, kemudian muncul pertanyaan apakah hal serupa juga terjadi di Ibu Kota Indonesia DKI Jakarta. Hasil studi terdahulu mendapatkan hasil menarik bahwa sepertiga kadar PM10 menurun pada fase awal PSBB pada sekitar bulan Mei – Agustus 2020, kemudian disaat PSBB dilonggarkan variasi secara geografis atau kewilayahan dari PM10 meningkat sebesar 21.2%. Beberapa factor yang mempengaruhi konsentrasi cemaran udara debu partikulat PM10 termasuk diantaranya adalah penggunaan lahan, emisi dari aktivitas transportasi, jalur kereta api, serta factor meteorologis seperti pajanan matahari, sinar ultra ungu, curah hujan, suhu udara, kelembaban, serta arah angin. Konsentrasi PM10 di DKI Jakarta sebelum pandemic pada tahun 2016 – 2018 berkorelasi secara positif terhadap kepadatan penduduk dan temperature serta berkorelasi negative dengan index vegetasi dan kelembaban.
Penulis: Zida Husnina
Jurnal: https://e-journal.unair.ac.id/JKL/search?authors=Kinley%20Wangdi