Universitas Airlangga Official Website

Kaji Film, Politik, dan Anak-anak, Dosen Ilkom UNAIR Sukses Terbitkan Buku

Halaman sampul buku karya IGAK Satrya Wibawa SSos MCA PhD. (Foto: Google Books)

UNAIR NEWS – Salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) IGAK Satrya Wibawa SSos MCA PhD sukses menerbitkan buku berjudul Representasi Anak & Bangsa dalam Bingkai Sinema Indonesia. Dosen Ilmu Komunikasi tersebut mengambil peran tokoh anak dalam narasi film domestik di berbagai periode sejarah hingga masa ini. Konteks sosial-politik negara ternyata memiliki pengaruh terhadap bagaimana anak-anak dibingkai dalam suatu film.

Sosok yang kerap kali dipanggil ‘Igak’ tersebut menjelaskan bahwa buku ini hadir untuk mengakomodasi minimnya posisi anak-anak dalam kajian film dan seniman. Padahal, banyak film menempatkan tokoh anak-anak sebagai sentralnya. Terlebih lagi, tambah Igak, anak-anak seringkali dijadikan alat penyampaian pesan politik, baik propaganda hingga kritik.

“Film anak-anak juga seringkali memiliki nilai jual yang tinggi,” jelas alumni Curtin University tersebut. Audiens yang dicapai tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang tua sebagai pendamping. Di sisi lain, Igak menambahkan bahwa kompleksitas film yang memiliki tokoh anak-anak bisa berbeda-beda. Tidak jarang pula orang dewasa dapat lebih memahami film dari perspektif anak-anak. 

“Yang harus kita tahu, film dengan tokoh anak-anak bukan berarti film itu untuk anak-anak. Sebaliknya, film untuk anak-anak tidak harus membutuhkan tokoh anak-anak,” tegasnya.

Representasi Anak dalam Film
Dosen Ilmu Komunikasi UNAIR, IGAK Satrya Wibawa S Sos MCA Ph D. (Foto: Departemen Komunikasi UNAIR)

Pada masa penjajahan, misalnya, usaha perfilman banyak digeluti oleh pengusaha asal Tiongkok dan Eropa berkat keleluasaan ekonomi yang diberikan pemerintah Belanda. Representasi anak pada masa ini erat dengan simbol-simbol nasionalisme seperti penggunaan bahasa Indonesia atau Melayu. Karakter ini bertahan setidaknya hingga masa kolonialisme Jepang. 

Bergerak menuju revolusi kemerdekaan, pakar perfilman dan komunikasi tersebut melihat anak-anak memiliki peran yang jauh lebih dominan, misalnya dalam film Djendral Kantjil (1958) atau Si Pintjang (1951). Anak dibingkai dengan semangat revolusi dan didorong menjadi kader revolusioner dalam menentukan masa depan negara. 

Narasi mengenai kehidupan anak-anak kemudian berganti pada masa orde baru. Suharto dan aparatur negara menjadi figur yang kuat dalam menentukan kualitas hidup bangsa. Menurut Igak, di masa ini anak-anak dilihat harus mendukung dan merasakan hasil pembangunan. Pembangunan yang dimaksud tentunya secara fisik dan erat dengan modernitas. Meski demikian, orde baru juga mengundang film bertemakan kritik sosiopolitik seperti dalam film Langitku Rumahku (1990).

“(Tokoh, Red) anak pada perfilman era orde baru punya posisi yang lebih lemah. Nasib mereka pada akhirnya diselamatkan oleh misalnya, orang tua atau aparat negara. Maka muncullah genre film melodrama, seperti film Ratapan Anak Tiri dan Kisah Si Miskin,” jelas Igak.

Pengajar Magister Ilmu Komunikasi UNAIR tersebut menegaskan bahwa jejak orde baru masih terasa dalam representasi anak pada film era reformasi dan pasca reformasi. Nasionalisme banal seperti penghormatan atas bendera, guru, dan aparat hukum sangat dominan. Anak-anak jarang mendapatkan posisi yang berpengaruh.

Sebagai informasi, pembaca yang berminat pada buku Representasi Anak & Bangsa dalam Bingkai Sinema Indonesia bisa mengunduh melalui Google Play seharga 70 ribuan saja. Sedangkan versi cetaknya, Igak berujar, masih dalam proses dan akan segera rilis dalam waktu dekat. (*)

Penulis: Deanita Nurkhalisa

Editor: Binti Q. Masruroh