n

Universitas Airlangga Official Website

Kasus Teror, Pakar: Perlunya Program Deradikalisasi di Semua Bidang

Teror
Ilustrasi Jawa Pos.com

UNAIR NEWS – Berita mengenai teror di kota Surabaya dan Sidoarjo telah mengguncang seantero dunia. Salah satu dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Dr. M. G. Bagus Ani Putra, Psikolog., memandang penyebab perilaku pelaku teror bom tersebut dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal.

“Ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku pelaku teror bom, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri dan faktor eksternal yang berasal dari pengaruh lingkungan,” ucapnya.

Bagus menerangkan ada beberapa penyebab yang berasal dari faktor internal tersebut. Yang pertama ialah mengenai dorongan dari diri manusia. Seorang tokoh Psikologi bernama Sigmund Freud, menurutnya, telah menyatakan bahwa setiap diri manusia mempunyai 2 dorongan, yaitu dorongan hidup dan dorongan mati.

“Pelaku teror bom lebih banyak dikuasai oleh dorongan mati, sehingga perilakunya cenderung merusak, membunuh, dan menyakiti orang lain. Dorongan inilah yang menyebabkan orang melakukan tindakan agresi dan menimbulkan korban,” jelasnya.

Sedang yang kedua, imbuhnya, adalah dalam diri pelaku mempunyai emosi dalam keyakinan yang mengalahkan logika atau rasional. Emosi yang berlebihan itu menyebabkan orang tidak mampu memfungsikan rasionalnya secara optimal karena tertutup dengan emosi dalam keyakinan.

“Hal ini menyebabkan sang pelaku tidak berfikir panjang akan tindakannya ini merugikan diri sendiri, keluarga dan khalayak,” tambahnya.

Selanjutnya, menurut dosen yang akrab disapa Bagus itu, pelaku mengalami deprivasi relatif. Yaitu keadaan psikologis yang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan subyektif yang dirasakan pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain.

“Deprivasi relatif yang muncul dari persepsi subyektif atas ketidakadilan akan mendorong pelaku melakukan agresi. Hal itu sebagai bentuk protes atau untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang dipersepsikan tersebut,” jelasnya.

Terakhir, imbunya, menurut teori pertukaran sosial dikatakan bahwa perilaku itu dilakukan karena mendapatkan manfaat dari perilaku tersebut, termasuk perilaku agresi. Dengan rumusan bahwa manfaat itu bisa dicapai jika mendapatkan balasan yang lebih besar daripada pengorbanan.

“Dalam hal ini, pelaku mempunyai keyakinan bahwa pengorbanan diri pelaku yang bahkan hingga mati, dipersepsikan sebagai hal yang kecil jika dibandingkan balasan  yang ia dapatkan di negeri akhirat kelak,” tambahnya.

Dengan mengetahui penyebab perilaku pelaku teror bom tersebut, Bagus memberikan beberapa saran untuk pencegahannya. Antara lain, program deradikalisasi di semua bidang, khususnya dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang baik tentunya meliputi moralitas yang baik dalam menerima ilmu pengetahuan.

“Termasuk pendidikan bagi napi teroris dan mantan napi teroris yang mengandung program deradikalisasi, baik di lapas maupun di masyarakat,” tambahnya.

Kemudian, tandas Bagus, masyarakat disarankan untuk tidak mengucilkan mantan napi teroris dan keluarganya. Hal itu bertujuan  agar mereka marasa diterima dan dibina di masyarakat serta mengurangi deprivasi relatif.

“Jika mantan napi teroris dan keluarganya, yang juga masyarakat biasa dijauhi maka mereka akan kembali mempersepsi tekanan dari lingkungan berupa ketidakadilan bagi dirinya,” tambahnya. “Terakhir, pemerintah hendaknya meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan psikologis keluarga,” pungkas Bagus.

 

Penulis: M. Najib Rahman

Editor: Nuri Hermawan